Dukun Beranak: Penjaga Tradisi, Mitra Kesehatan, dan Evolusi Peran dalam Masyarakat Indonesia
Dukun beranak, yang dikenal dengan berbagai sebutan lokal seperti paraji di Sunda, sandro di Bugis, atau sando di Sumba, merupakan figur tradisional yang secara historis menjadi tumpuan utama ibu melahirkan di Indonesia. Mereka adalah perempuan yang membantu persalinan ibu hamil, namun tidak memiliki latar belakang pendidikan formal atau sertifikasi sebagai bidan. Keberadaan mereka telah mengakar jauh sebelum masehi, bahkan sebelum era modernisasi kesehatan tiba di Nusantara.
Secara etimologis, kata “dukun” pada mulanya memiliki makna positif, merujuk pada seseorang yang memiliki keahlian medis atau penyembuhan. Namun, seiring dengan masuknya pengaruh kolonial, maknanya bergeser menjadi peyoratif. Perubahan ini bukan sekadar pergantian istilah, melainkan cerminan dari strategi pemerintah kolonial untuk mendelegitimasi sistem pengetahuan dan praktik medis pribumi, sekaligus menegaskan superioritas medis Barat. Meskipun demikian, upaya kolonial untuk menggantikan peran dukun beranak karena dianggap tidak aman dan tidak higienis terbukti gagal. Popularitas dukun beranak tetap bertahan dan bahkan terus berkembang di tengah masyarakat. Hal ini menunjukkan adanya resiliensi budaya yang mendalam serta tingkat kepercayaan yang kuat terhadap praktik tradisional, yang tidak mudah tergoyahkan oleh intervensi eksternal, bahkan dari penguasa kolonial. Upaya untuk merendahkan status dukun tidak berhasil menghapus peran atau kepercayaan masyarakat terhadap mereka.
Signifikansi Budaya dan Sosial Dukun Beranak dalam Masyarakat Tradisional
Dukun beranak memiliki kedekatan emosional yang mendalam dengan masyarakat. Peran mereka melampaui sekadar bantuan persalinan; mereka juga mendampingi ibu selama masa kehamilan, serta merawat anak pascapersalinan. Kedekatan ini diperkuat oleh struktur biaya yang tidak mahal dan fleksibel, menjadikan layanan mereka mudah diakses oleh semua kalangan masyarakat. Fleksibilitas pembayaran ini, yang terkadang bisa berupa hasil pertanian atau barang, semakin memperkuat aksesibilitas mereka, terutama bagi masyarakat dengan keterbatasan ekonomi.
Dalam struktur sosial, dukun adat, termasuk dukun beranak, memegang posisi yang sangat signifikan, terutama dalam konteks yang memiliki nilai sakral. Mereka dipandang sebagai individu yang memiliki kelebihan dalam kemampuan supranatural, dihormati, dan dianggap sebagai tokoh bijaksana yang sering dicari nasihatnya dalam berbagai urusan penting. Kepercayaan masyarakat terhadap dukun sangat kuat dan dianut secara turun-temurun, dianggap sebagai warisan dari nenek moyang. Dukun bayi dihormati sebagai figur orang tua yang tidak hanya membantu proses kelahiran, tetapi juga mendampingi ibu baru yang belum berpengalaman dalam merawat bayi. Mereka juga memimpin berbagai ritual yang menyertai kelahiran bayi, termasuk penguburan ari-ari yang memiliki makna spiritual mendalam dalam budaya Jawa untuk kehidupan bayi di masa depan. Keterjangkauan biaya, kedekatan emosional, keterlibatan dalam ritual, dan status mereka sebagai tetua yang dihormati menunjukkan bahwa mereka berfungsi sebagai elemen kunci dalam kapital sosial komunitas. Ini bukan hanya tentang layanan kesehatan, melainkan tentang pemeliharaan kohesi sosial, identitas budaya, serta penyediaan kenyamanan psikologis dan kepercayaan yang mungkin tidak sepenuhnya ditawarkan oleh sistem medis formal. Aspek mereka sebagai “perantara antara manusia dengan makhluk tak terlihat” semakin mengukuhkan peran mereka sebagai penjaga spiritual, yang memperkuat ikatan komunitas melalui kepercayaan dan praktik bersama. Integrasi mendalam ini menjelaskan mengapa peran mereka sulit digantikan hanya dengan layanan medis modern.
Fakta bahwa dukun beranak “tidak mematok tarif yang mahal sehingga bisa diakses semua kalangan” dan “tersedia di dalam komunitas dan siap membantu kapan pun diperlukan” menunjukkan bahwa dominasi mereka sebagian besar merupakan respons adaptif terhadap kesenjangan historis dan berkelanjutan dalam aksesibilitas, keterjangkauan, dan sensitivitas budaya layanan kesehatan formal. Ini bukan sekadar preferensi, melainkan strategi komunitas untuk memastikan adanya layanan kesehatan, terutama di daerah terpencil. Kepercayaan yang mendalam terbangun dari aksesibilitas dan resonansi budaya ini, mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh infrastruktur medis modern yang belum matang atau tidak terjangkau.
II. Peran dan Praktik Tradisional Dukun Beranak
A. Perawatan Selama Kehamilan
Meskipun beberapa studi menunjukkan bahwa peran dukun beranak dalam perawatan kehamilan dari perspektif medis modern dianggap rendah , mereka tetap memberikan nasihat dan melakukan praktik tertentu yang sangat dihargai dalam konteks budaya. Umumnya, dukun akan mengelus perut ibu hamil sambil memberikan nasihat-nasihat yang berkaitan dengan pantangan makanan ataupun tindakan yang harus dihindari.
Masyarakat tradisional memiliki kebiasaan dan pantangan yang kuat selama kehamilan, yang diyakini akan memengaruhi kelancaran persalinan dan kesehatan bayi. Sebagai contoh, di masyarakat Sunda, khususnya di Garut, ibu hamil dianjurkan untuk membawa benda tajam seperti gunting atau peniti yang diikatkan pada pakaian. Praktik ini dipercaya dapat melindungi ibu dan bayi dari gangguan roh jahat dan makhluk halus. Selain itu, mereka juga dianjurkan untuk banyak bergerak dan berjalan-jalan, terutama pada pagi hari saat udara masih segar, dengan keyakinan bahwa ini akan membuat persalinan menjadi lebih lancar. Gerakan menungging, termasuk mengepel lantai dengan menggunakan tangan, direkomendasikan bagi ibu hamil tua agar janin yang di dalam kandungan cepat turun dan membuka jalan lahir, sehingga mempermudah persalinan. Ibu hamil dengan rambut panjang juga dianjurkan untuk mengikat rambutnya agar kelihatan rapi dan bersih. Praktik pijat, yang dalam bahasa Sunda disebut ‘disangsurkeun’, juga dilakukan dengan keyakinan untuk menjaga posisi bayi agar tidak turun ke bawah.
Pantangan yang harus diikuti ibu hamil juga beragam dan memiliki makna simbolis yang kuat. Mereka dilarang memakai pakaian robek karena diyakini dapat menyebabkan cacat lahir pada bayi. Keluar dan berjalan-jalan di malam hari juga menjadi pantangan karena ditakutkan akan diikuti dan diganggu oleh roh-roh halus. Duduk di
bangbarung (depan pintu) atau di teras rumah dengan kaki menjuntai (ngarumbay) diyakini dapat menyebabkan kesulitan atau menghambat kelahiran sang bayi. Pantangan makanan juga sangat bervariasi; misalnya, tidak makan nanas karena diyakini dapat menyebabkan keguguran, atau makanan pedas yang dipercaya membuat anak menjadi rewel. Buah-buahan yang menyatu atau kembar juga dihindari karena diyakini dapat menyebabkan kelahiran kembar siam. Praktik-praktik selama kehamilan, seperti membawa benda tajam atau pantangan makanan, bukan sekadar takhayul, melainkan mencerminkan pendekatan holistik di mana kesejahteraan fisik terjalin erat dengan perlindungan spiritual dan harmoni sosial. Kepercayaan akan “roh jahat” menunjukkan pandangan dunia di mana ancaman kesehatan melampaui aspek fisik. Nasihat untuk menghindari makanan atau perilaku tertentu, meskipun tidak selalu didukung secara medis, memiliki fungsi sosial untuk memperkuat norma komunitas dan mengelola kecemasan kolektif selama periode rentan. Ini menyoroti bagaimana dukun beranak beroperasi dalam kerangka budaya yang komprehensif, bukan hanya medis.
Peran Suami dan Keluarga dalam Tradisi Kehamilan
Keterlibatan suami dan keluarga besar dalam tradisi kehamilan sangatlah signifikan. Suami juga memiliki ritual dan pantangan yang harus diikuti selama kehamilan istri. Mereka sering mengucapkan “amit-amit” (sebuah frasa untuk menolak bala) saat melihat atau mendengar hal yang tidak menyenangkan, diyakini untuk melindungi bayi dari hasil yang tidak diinginkan. Selain itu, suami juga mengunyah “panglay” (sejenis lengkuas) dan menyemburkannya di sudut-sudut rumah dan di pintu depan setiap sore menjelang magrib. Praktik ini dipercaya dapat mencegah gangguan pada keluarga.
Pantangan bagi suami juga ada, meliputi larangan menyembelih hewan (seperti ayam, domba, atau ular) karena diyakini dapat menyebabkan tanda merah pada leher bayi. Berbicara kasar atau sembarangan juga dihindari demi keselamatan ibu dan bayi. Melilitkan handuk di leher juga dilarang karena diyakini dapat menyebabkan tali pusat melilit leher bayi, yang berujung pada persalinan yang sulit. Keterlibatan ekstensif suami dan keluarga besar dalam ritual kehamilan dan pengambilan keputusan menunjukkan bahwa persalinan bukanlah sekadar peristiwa individu, melainkan peristiwa komunal. Tanggung jawab kolektif ini dan kepatuhan bersama terhadap tradisi memperkuat ikatan keluarga dan kapital sosial. Ritual suami, meskipun tampak simbolis, menunjukkan empati dan partisipasi aktif (seperti sindrom
couvade) , yang dapat memberikan dukungan psikologis signifikan bagi ibu hamil. Aspek komunal ini merupakan pembeda utama dari pendekatan medis modern yang seringkali lebih individualistis.
Keluarga, terutama ibu kandung dan mertua, memegang pengaruh signifikan dalam pengambilan keputusan terkait persalinan, termasuk pilihan untuk menggunakan jasa dukun beranak. Dukungan penuh dari keluarga, baik dalam bentuk bantuan fisik (misalnya menyiapkan alat dan bahan persalinan) maupun dukungan psikologis, sangat berperan dalam proses ini.
B. Pertolongan Persalinan Tradisional
Dukun beranak secara historis sangat terlibat dalam pertolongan persalinan. Sebuah penelitian bahkan menunjukkan bahwa mereka membantu 67,1% kasus persalinan. Mereka memberikan dukungan moral yang kuat, melakukan pijatan tradisional, dan memberikan ramuan tradisional untuk membantu proses kelahiran.
Metode dan ritual yang dilakukan bervariasi antar daerah, mencerminkan kekayaan budaya Indonesia. Sebagai contoh, di suku Bugis, setelah ari-ari keluar, dukun membersihkannya berulang kali dengan air bersih hingga dipastikan bersih dan tidak bau, lalu menyimpannya dalam kendi bersama berbagai benda simbolis seperti asam jawa, kain putih, telur ayam, rokok sirih pinang, nasi kepal, kemiri, paku, dan tunas kelapa muda. Dukun juga melakukan “semburan” pada kening ibu dengan daun sirih dan ramuan lain yang dikunyah, diyakini untuk mencegah ibu sering merasa pusing setelah melahirkan.
Dukun beranak juga dipercaya memiliki “kesaktian” tertentu yang memberikan rasa aman dan ketenangan bagi ibu bersalin. Mereka akan membacakan mantra dan meniupkannya ke ubun-ubun dan area vagina ibu yang hendak bersalin untuk melancarkan proses kelahiran. Mereka juga menggunakan “air puh” (air yang diberkati) atau “sasombuan” (ramuan dari jerangau dan kunik bolai) yang dikunyah dan disemburkan di sekitar ibu untuk melindungi dari roh jahat dan diyakini dapat mempercepat serta mempermudah persalinan. Penekanan pada “dukungan psikologis” serta penggunaan mantra dan air yang diberkati selama persalinan menunjukkan aspek krusial yang sering terabaikan oleh pendekatan biomedis murni: kenyamanan psikologis dan spiritual yang diberikan oleh dukun beranak. Persalinan bukan hanya proses fisiologis, tetapi juga pengalaman yang sangat emosional dan spiritual. Kehadiran dukun, ritual yang familiar, dan persepsi kemampuan mistis mereka dapat secara signifikan mengurangi kecemasan dan ketakutan pada ibu , yang pada gilirannya secara fisiologis dapat membantu proses persalinan. Ini menyoroti celah dalam layanan medis modern yang terus diisi oleh dukun.
C. Perawatan Pascapersalinan dan Bayi
Ritual Perawatan Ari-ari dan Maknanya
Setelah ari-ari keluar, dukun membersihkannya berulang kali dengan air bersih hingga dipastikan bersih dan tidak bau, lalu menyimpannya dalam kendi. Kendi ini diberi berbagai benda simbolis seperti asam jawa, kain putih, telur ayam, rokok sirih pinang, nasi kepal, kemiri, paku, dan tunas kelapa muda, kemudian diletakkan di sudut kamar bayi. Ada juga ritual “memberi makan” ari-ari saat Magrib dengan air putih, nasi kepal, telur rebus, dan lilin kuning, yang diyakini mencegah bayi rewel atau mudah sakit. Dukun bayi juga memiliki tanggung jawab atas pemakaman ari-ari, yang dalam pandangan spiritual Jawa memiliki peran penting bagi kehidupan bayi di masa depan. Ritual yang rumit untuk ari-ari dan perlindungan bayi bukan sekadar perawatan praktis, melainkan sangat tertanam dalam pemahaman kosmologis tentang kehidupan dan kesejahteraan. Ari-ari dipandang sebagai “saudara spiritual” , dan perawatannya yang tepat diyakini memengaruhi masa depan bayi.
Pijat Tradisional untuk Pemulihan Ibu dan Perawatan Bayi
Pijat tradisional pascapersalinan adalah praktik umum yang dilakukan di banyak budaya untuk membantu pemulihan ibu setelah melahirkan. Praktik ini dapat memiliki beragam manfaat, baik fisik maupun emosional, seperti mengurangi nyeri otot dan ketegangan, meningkatkan sirkulasi darah, serta meredakan stres dan kecemasan. Pijat dilakukan pada hari ke-1 hingga ke-3, dan kembali pada hari ke-7 setelah melahirkan, menggunakan minyak kelapa dicampur minyak kayu putih. Dukun beranak juga memiliki keahlian khusus dalam memijat bayi, memahami betapa ringkihnya bayi dan seberapa besar tekanan yang tepat untuk diterapkan. Mereka membantu ibu-ibu muda yang baru melahirkan untuk merawat bayinya dengan baik.
Penggunaan Jamu, Makanan Khusus, dan Mandi Rempah
Ibu nifas dianjurkan meminum jamu tradisional, seperti air rebusan daun sirih dan jamu pluntur yang diyakini dapat mengeluarkan darah kotor dari tubuh ibu sehingga pulih sehat. Penggunaan “pilis” di kening ibu berfungsi untuk mencegah pusing setelah melahirkan. Mandi rempah dengan rebusan daun kunyit, serai wangi, kencur, dan lengkuas juga dilakukan selama minimal 15 hari untuk membantu pemulihan ibu. Ada juga makanan khusus yang diwajibkan, seperti jantung pisang, daun katuk, dan pisang nipah muda, yang diyakini meningkatkan produksi ASI dan memulihkan tubuh.
Ritual Perlindungan Bayi (Contoh: Semburan Bayi)
Dukun kampung melakukan “semburan” pada bayi menggunakan daun sirih yang dikunyah bersama kapur sirih, gambir, pinang, benglai, dan kencur. Semburan ini dilakukan pada bagian kening, telinga kiri dan kanan, serta kaki kiri dan kanan bayi, terutama saat pagi hari dan waktu magrib, untuk memberikan perlindungan kepada bayi dari gangguan jahat atau penyakit. Semburan juga dilakukan pada sudut-sudut kamar bayi setelah selesai memberikan semburan pada bayi itu sendiri. Ritual “semburan” dan penggunaan ramuan khusus untuk mandi dan jamu mencerminkan sistem kepercayaan di mana kesehatan dipertahankan tidak hanya melalui cara fisik, tetapi juga melalui perlindungan spiritual dan harmoni dengan alam. Ini menunjukkan bagaimana dukun beranak menyediakan sistem perawatan komprehensif yang mengatasi kebutuhan fisik, emosional, dan spiritual, selaras dengan kepercayaan komunitas.
Tabel 1: Perbandingan Praktik Tradisional Dukun Beranak di Berbagai Suku/Daerah (Kehamilan, Persalinan, Pascapersalinan)
Aspek Praktik | Sunda (Garut) | Bugis (Kubu Raya, Bulukumba) | Banjar (Martapura, Kalsel) | Perhenan Luas | Umum/Lainnya |
---|---|---|---|---|---|
Praktik Kehamilan | Membawa benda tajam (gunting/peniti), banyak bergerak & jalan-jalan, gerakan menungging (mengepel lantai), mengikat rambut panjang, pijat ‘disangsurkeun’. | - | Menanam jariyangaw dekat rumah (penangkal kuyang), tapung tawar (percikan air magis). | Pijat perut (non-forceful palpation) ‘Manyiria’, nasihat diet. | Nasihat pantangan makanan/tindakan. |
Pantangan Kehamilan | Pakaian robek (cacat bayi), keluar malam (roh jahat), duduk di bangbarung/teras kaki menjuntai (sulit melahirkan), nanas (keguguran), buah kembar (kembar siam). | - | Duduk depan pintu/sisir di kepala (sulit melahirkan), keluar menjelang magrib (gangguan roh), membelah kayu bakar/menenun (cacat bayi), melilitkan handuk di leher (tali pusat melilit), nanas (keguguran), pisang kembar (kembar siam). | - | Makanan pedas (anak rewel), es (bayi besar). |
Praktik Persalinan | - | Pembersihan & penyimpanan ari-ari dalam kendi, semburan pada kening ibu. | - | Penggunaan “sasombuan” (ramuan pelindung roh jahat) & “air puh” (air diberkati) untuk melancarkan persalinan. | Pijat perut (meskipun dilarang medis), pembacaan mantra, meniup ubun-ubun & area vagina. |
Praktik Pascapersalinan Ibu | - | Pijat tradisional (hari 1-3, hari 7), mandi rempah, tapal perut, minum jamu (sirih, pluntur, tapal perut, pilis). | Pijat untuk pemulihan kondisi ibu nifas. | Pijat “bukak bobek” (hari ke-3), “turun mandi” (tali pusat lepas), “urut lope bontan” (hari ke-44). | Ritual “Garangan” (mandi uap di Cirebon). |
Praktik Perawatan Bayi | - | Semburan bayi (perlindungan dari gangguan jahat), mandi rempah bayi (hingga 2 bulan), pemasangan gurita. | Ritual wadak, tolak bala, beuri. | Ritual “turun mandi” (mandi di sungai), tindik telinga, sunat perempuan. | Pijat bayi. |
Tabel ini secara visual dan terstruktur membandingkan keragaman praktik dukun beranak di berbagai suku/daerah di Indonesia. Ini menyoroti bahwa “dukun beranak” bukanlah entitas monolitik, melainkan praktik yang sangat lokal dan beragam. Ini membantu pembaca memahami nuansa budaya dan menunjukkan kedalaman praktik tradisional yang dilakukan, melampaui generalisasi. Ini juga menjadi dasar kuat untuk membahas bagaimana kebijakan kesehatan modern perlu mempertimbangkan konteks lokal, karena pendekatan satu ukuran untuk semua mungkin tidak efektif.
III. Dukun Beranak dalam Perspektif Medis Modern
A. Risiko dan Tantangan Kesehatan
Praktik dukun beranak umumnya jauh dari prinsip keamanan dan kebersihan medis, sehingga berisiko tinggi menyebabkan kematian ibu dan bayi. Mereka tidak memiliki kompetensi yang diperlukan dalam pertolongan persalinan, yang secara eksklusif dimiliki oleh bidan, dokter umum, dan dokter kandungan yang memperoleh pengetahuan melalui pendidikan formal dan pengalaman bertahun-tahun.
Salah satu praktik tradisional yang sangat bertentangan dengan ilmu medis adalah pijat perut pada ibu hamil. Pijatan yang berlebihan atau tidak tepat dapat menyebabkan rupture uteri (robekan rahim) atau lilitan tali pusat pada janin, yang berpotensi fatal bagi ibu dan bayinya. Bahkan, telah ditemukan beberapa kasus bayi bermasalah saat persalinan akibat pijatan tersebut. Selain itu, dukun seringkali tidak memiliki pengetahuan memadai tentang peralatan medis dan obat-obatan yang esensial untuk persalinan yang lancar. Lingkungan atau peralatan yang tidak steril selama proses kelahiran juga menjadi faktor risiko signifikan yang dapat berkontribusi pada tingginya angka kematian ibu dan bayi. Kontras yang tajam antara praktik tradisional (misalnya, pijat perut, kondisi tidak steril) dan prinsip medis modern menyoroti konflik fundamental dalam paradigma. Ini bukan sekadar masalah “praktik buruk,” melainkan benturan antara pendekatan holistik yang tertanam secara budaya dan pendekatan reduksionis berbasis bukti. Konsekuensi langsung dari konflik ini adalah peningkatan angka kematian ibu dan bayi. Hal ini menuntut pendekatan yang hati-hati terhadap integrasi, bukan pelarangan total, karena pelarangan total secara historis telah terbukti gagal.
B. Alasan Masyarakat Memilih Dukun Beranak
Meskipun ada risiko medis yang jelas, masyarakat masih banyak yang memilih dukun beranak sebagai penolong persalinan. Pilihan ini didorong oleh berbagai faktor kompleks yang melampaui pertimbangan medis semata.
Faktor Ekonomi dan Aksesibilitas Layanan
Dukun beranak tidak mematok tarif yang mahal dan layanan mereka mudah diakses oleh semua kalangan masyarakat. Di daerah terpencil atau dengan akses terbatas ke fasilitas kesehatan modern, dukun bersalin seringkali menjadi satu-satunya pilihan yang tersedia karena mereka biasanya ada di dalam komunitas dan siap membantu kapan pun diperlukan. Sistem pembayaran mereka juga sangat fleksibel, bahkan dapat berupa hasil pertanian atau barang, bukan hanya uang tunai. Menariknya, meskipun biaya persalinan di dukun kadang bisa lebih mahal (antara Rp 800.000 hingga Rp 1.000.000) dibandingkan di fasilitas bidan, masyarakat tetap memilihnya. Ini menunjukkan bahwa biaya bukan satu-satunya faktor penentu dalam pengambilan keputusan persalinan.
Kepercayaan Turun-temurun dan Ikatan Emosional yang Kuat
Kepercayaan masyarakat terhadap dukun sangat kuat karena diwariskan secara turun-temurun dan dianggap sebagai warisan nenek moyang. Dukun dianggap memiliki kemampuan karismatik atau wibawa khusus yang diwarisi. Selain itu, kedekatan emosional, rasa nyaman, dan ketenangan yang diberikan oleh dukun saat mendampingi persalinan menjadi faktor psikologis yang sangat penting bagi ibu. Masyarakat merasa aman, nyaman, dan tenang apabila dukun bayi mendampingi dan memantau kemajuan persalinan, karena dukun merupakan bagian dari masyarakat lokal, memahami tradisi, dan dianggap selalu siap sedia.
Dukungan Keluarga dan Komunitas
Keputusan untuk bersalin dengan dukun seringkali didominasi oleh pengaruh kuat dari keluarga, terutama ibu kandung dan mertua. Dukungan penuh dari keluarga, baik dalam bentuk bantuan fisik (misalnya menyiapkan alat dan bahan persalinan) maupun dukungan psikologis, sangat berperan dalam pilihan ini. Kohesi masyarakat dan kepercayaan sosial yang tinggi antarwarga juga secara signifikan meningkatkan preferensi terhadap dukun beranak.
Persepsi Terhadap Intervensi Medis Modern
Masyarakat seringkali merasa tidak nyaman atau bahkan takut dengan peralatan medis modern seperti peralatan bedah, gunting, atau jarum suntik. Ada kekhawatiran yang cukup tinggi terhadap risiko yang mungkin ditimbulkan oleh tindakan medis modern. Beberapa ibu secara eksplisit menyatakan takut melahirkan di rumah sakit atau menjalani operasi, merasa lebih aman dan selamat jika melahirkan di dukun.
Meskipun faktor ekonomi dan aksesibilitas sering disebut, data mengungkapkan bahwa pilihan dukun beranak jauh lebih kompleks daripada analisis biaya-manfaat sederhana atau sekadar kurangnya akses. Kesediaan untuk membayar lebih mahal untuk layanan dukun secara langsung bertentangan dengan rasionalitas ekonomi murni. Ini menunjukkan bahwa kepercayaan budaya yang mengakar, kepercayaan antar-generasi, pengaruh keluarga yang kuat, dan ketidaknyamanan fundamental terhadap sifat “asing” intervensi medis modern adalah penentu yang kuat. Ini menyiratkan bahwa intervensi kesehatan harus mengatasi dimensi sosio-kultural dan psikologis ini, bukan hanya infrastruktur atau biaya, agar benar-benar efektif.
Tabel 2: Faktor Pendorong Pemilihan Dukun Beranak sebagai Penolong Persalinan
Faktor Pendorong | Deskripsi | Sumber |
---|---|---|
Biaya Terjangkau/Fleksibel | Dukun tidak mematok tarif mahal, pembayaran dapat disesuaikan kemampuan atau non-tunai (misal: hasil pertanian). | |
Aksesibilitas Layanan | Dukun tersedia di komunitas, siap membantu kapan pun diperlukan, terutama di daerah terpencil dengan akses terbatas ke fasilitas medis modern. | |
Kepercayaan Turun-temurun | Kepercayaan yang kuat karena diwariskan dari nenek moyang; dukun dianggap memiliki kemampuan karismatik/wibawa khusus. | |
Kedekatan Emosional & Rasa Nyaman | Dukun memiliki kedekatan emosional, memberikan rasa nyaman dan tenang bagi ibu bersalin karena mereka bagian dari masyarakat lokal dan selalu siap sedia. | |
Dukungan Keluarga & Komunitas | Keputusan dipengaruhi kuat oleh keluarga (ibu/mertua); adanya dukungan fisik dan psikologis penuh dari keluarga, serta kohesi sosial komunitas. | |
Persepsi Risiko Medis Modern | Ketidaknyamanan/ketakutan terhadap peralatan medis (jarum, gunting), kekhawatiran terhadap risiko intervensi medis modern, dan rasa lebih aman di dukun. | |
Kurangnya Pengalaman Bidan (di beberapa kasus) | Persepsi bahwa bidan modern kurang berpengalaman dibandingkan dukun yang lebih senior. |
Tabel ini mengkonsolidasikan berbagai alasan kompleks mengapa masyarakat masih memilih dukun beranak, bahkan di era modern. Ini menunjukkan bahwa pilihan ini bukan hanya karena keterbatasan akses atau ekonomi, tetapi juga karena faktor budaya, sosial, dan psikologis yang mendalam. Ini akan membantu memahami bahwa solusi untuk meningkatkan cakupan persalinan medis harus multidimensional, tidak hanya berfokus pada penyediaan fasilitas, dan harus mempertimbangkan aspek non-medis yang penting bagi komunitas.
IV. Evolusi Peran dan Kemitraan dengan Layanan Kesehatan Modern
A. Sejarah Kebidanan Modern dan Upaya Dekolonisasi di Indonesia
Pendidikan bidan bagi wanita pribumi pertama kali dibuka di Batavia pada tahun 1851 oleh dokter militer Belanda, DR. W. Bosch, meskipun program ini tidak berlangsung lama karena kurangnya peserta didik. Namun, inisiatif ini dianggap sebagai gerakan positif yang sangat berpengaruh dalam sejarah pendidikan bidan di Indonesia. Pendidikan bidan kemudian dibuka kembali pada tahun 1902 di Rumah Sakit Militer Batavia dan pada tahun 1904 di Makassar, dengan lulusan yang harus bersedia ditempatkan di mana saja dan menolong masyarakat kurang mampu secara cuma-cuma.
Pada masa kolonial, pemerintah berupaya keras untuk menggantikan dukun beranak karena praktik mereka dianggap tidak aman dan tidak higienis. Namun, upaya penggantian ini gagal karena popularitas dukun beranak yang berkelanjutan di kalangan masyarakat. Setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah mengadopsi pendekatan yang berbeda dibandingkan pemerintah kolonial. Alih-alih penggantian, pemerintah mendorong kerja sama dan kemitraan antara bidan dan dukun beranak. Kolaborasi ini secara signifikan meningkatkan kesadaran perempuan Indonesia mengenai kesehatan reproduksi. Proses adaptasi dan integrasi ini dapat diinterpretasikan sebagai bagian dari proses dekolonisasi dalam layanan kebidanan dan persalinan di Indonesia. Pergeseran kebijakan pemerintah dari upaya kolonial untuk “mengganti” dukun beranak menjadi kebijakan pemerintah Indonesia merdeka yang mendorong “kerja sama” merupakan titik balik yang krusial. Ini bukan sekadar perubahan kebijakan; ini merepresentasikan proses dekolonisasi dalam layanan kesehatan, di mana sistem pengetahuan dan praktik pribumi diakui dan diintegrasikan, alih-alih diberantas. Pergeseran strategis ini mengakui akar budaya yang mendalam dan kapital sosial yang dimiliki dukun beranak, bergerak menuju pendekatan kesehatan masyarakat yang lebih peka budaya dan pragmatis. Ini menunjukkan kematangan dalam kebijakan kesehatan masyarakat, memahami bahwa pemaksaan dari atas ke bawah seringkali gagal tanpa adanya dukungan dan partisipasi komunitas.
B. Kebijakan Pemerintah dan Program Kemitraan Bidan-Dukun
Program kemitraan bidan dan dukun dikembangkan sejak tahun 2008 sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan akses ibu dan bayi terhadap pelayanan kebidanan yang berkualitas. Tujuan utama kemitraan ini adalah menciptakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan prinsip keterbukaan, kesetaraan, dan kepercayaan, dengan menempatkan bidan sebagai penolong persalinan utama dan mengalihfungsikan dukun dari penolong persalinan menjadi mitra dalam merawat ibu dan bayi pada masa nifas.
Seiring dengan perkembangan zaman, peran dukun bayi telah mengalami transformasi. Kini, mereka seringkali memerlukan sertifikat dan pelatihan khusus dari lembaga kesehatan seperti Puskesmas, berbeda dengan masa lampau di mana mereka dapat membantu persalinan tanpa persyaratan tersebut. Peran mereka dialihfungsikan menjadi pendamping ibu saat proses persalinan, melakukan perawatan ibu dan bayi selama periode nifas, memotivasi ibu hamil untuk periksa ke bidan, merujuk calon ibu bersalin ke bidan, dan melakukan kunjungan rumah ke ibu setelah persalinan.
Dukun beranak secara eksplisit dilarang menangani persalinan secara langsung. Mereka juga tidak dibolehkan mengurut atau memijat perut ibu hamil karena dapat menimbulkan banyak risiko pada janin, seperti
rupture uteri atau lilitan tali pusat. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat dikenakan sanksi, seperti penahanan akta kelahiran anak atau denda finansial, seperti yang berlaku di beberapa desa.
Sejak Maret 2011, pemerintah telah meluncurkan program Jaminan Persalinan (Jampersal) yang menyediakan layanan persalinan tanpa dipungut biaya alias gratis bagi masyarakat. Program ini didukung oleh Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan mencakup layanan di rumah sakit pemerintah (kelas III), serta di fasilitas bidan dan rumah sakit swasta yang bermitra. Jampersal juga mencakup biaya operasi
caesar hingga Rp 6 juta dan biaya pemasangan alat kontrasepsi. Program ini bertujuan untuk memfasilitasi akses bagi masyarakat yang tidak tercover asuransi kesehatan lain, dan berlaku untuk semua warga Jawa Timur tanpa memandang status ekonomi. Pergeseran kebijakan pemerintah dari penggantian menjadi kemitraan dan penetapan peran baru dukun yang terperinci menunjukkan pendekatan regulasi yang adaptif. Ini bukan hanya tentang kontrol, tetapi tentang memanfaatkan struktur sosial dan kepercayaan yang sudah ada. Dengan mensertifikasi dukun dan melatih mereka , pemerintah secara implisit mengakui relevansi mereka yang berkelanjutan dan berupaya mengintegrasikan mereka ke dalam sistem kesehatan formal sebagai aktor
komplementer daripada kompetitif. Program Jampersal semakin menghilangkan hambatan ekonomi, bertujuan untuk mengarahkan lebih banyak persalinan ke profesional medis sambil tetap mengakui peran dukungan pascapersalinan dukun.
C. Tantangan dan Keberhasilan Kemitraan
Kemitraan dukun dengan bidan belum berjalan optimal di banyak daerah. Hambatan utama meliputi sarana dan prasarana penunjang yang belum memadai, seperti kurangnya transportasi dan kondisi jalan yang buruk di daerah terpencil. Dana yang dialokasikan juga seringkali tidak mencukupi untuk pertemuan rutin atau insentif bagi dukun. Komunikasi dan koordinasi antara bidan dan dukun seringkali minimal dan bersifat insidental, bukan rutin. Selain itu, masih ada dukun yang tidak bersedia bermitra karena kurangnya kepercayaan, pengalaman buruk dengan bidan, atau keyakinan bahwa keselamatan ibu dan bayi sepenuhnya di tangan Tuhan. Beberapa dukun juga tetap menolong persalinan sendiri karena kondisi darurat (bayi akan segera keluar) atau ketidaktahuan bahwa tindakan tersebut dilarang.
Meskipun ada hambatan, pelatihan kemitraan terbukti mampu meningkatkan komunikasi, kerja sama, dan komitmen antara bidan dan dukun. Dukun bayi yang telah dilatih diajarkan prinsip kebersihan selama proses persalinan, yang membantu menurunkan risiko infeksi. Kemitraan ini sangat membantu bidan dalam pekerjaan mereka, terutama karena dukun seringkali lebih dekat dengan masyarakat dan dapat mendeteksi kehamilan lebih awal atau tanda-tanda persalinan.
Studi kasus menunjukkan bahwa kemitraan yang efektif membutuhkan pemahaman mendalam tentang konteks lokal dan faktor-faktor non-medis yang memengaruhi pilihan masyarakat. Di Desa Bolo, Demak, peran dukun bayi masih sangat berpengaruh dan kepercayaan masyarakat terhadap mereka tetap kuat. Hal ini disebabkan oleh faktor ekonomi, adat istiadat, pemahaman ilmu Jawa, dukungan psikologis, saran komunitas, dan kepercayaan diri dukun. Di Desa Perhenan Luas, dukun beranak memberikan dukungan spiritual dan moral yang melengkapi peran bidan, dan meskipun ada kebijakan desa yang mewajibkan keterlibatan tenaga kesehatan, dukun tetap menjalankan peran tradisional mereka pascapersalinan. Tantangan dalam kemitraan menunjukkan bahwa kebijakan saja tidak cukup. Masalah yang mengakar seperti infrastruktur yang tidak memadai, pendanaan, dan kepercayaan interpersonal harus diatasi. Namun, keberhasilan pelatihan dan pembinaan komunikasi dapat menjembatani kesenjangan. Fakta bahwa dukun masih dicari untuk kenyamanan psikologis dan ritual tradisional menunjukkan bahwa kemitraan bukan hanya tentang rujukan medis, tetapi tentang memanfaatkan kapital sosial dukun untuk secara tidak langsung meningkatkan hasil kesehatan. Ini adalah strategi pragmatis untuk mengurangi risiko yang terkait dengan praktik tradisional dengan mengintegrasikannya ke dalam kerangka yang lebih aman, daripada mencoba penggantian skala penuh yang seringkali ditentang. Ini mengakui bahwa perubahan budaya lambat dan membutuhkan keterlibatan yang berkelanjutan dan bernuansa.
Tabel 3: Perbandingan Peran Dukun Beranak Sebelum dan Sesudah Program Kemitraan dengan Bidan
Aspek Peran | Sebelum Kemitraan | Sesudah Kemitraan | Sumber |
---|---|---|---|
Pertolongan Persalinan Utama | Menolong persalinan secara mandiri, menjadi penolong utama. | Dilarang menolong persalinan langsung, hanya mendampingi ibu dan merujuk ke bidan/fasilitas kesehatan. | |
Perawatan Kehamilan | Peran rendah secara medis, namun memberikan nasihat pantangan dan pijatan tradisional. | Memotivasi ibu hamil untuk periksa ke bidan. | |
Perawatan Pascapersalinan Ibu | Peran tinggi, meliputi pijat, jamu, mandi rempah, tapal perut. | Tetap berperan tinggi, membantu bidan dalam merawat ibu nifas, melakukan kunjungan rumah. | |
Perawatan Bayi Baru Lahir | Peran tinggi, meliputi perawatan ari-ari, pijat bayi, ritual perlindungan. | Tetap berperan tinggi, membantu bidan dalam merawat bayi baru lahir. | |
Pemimpin Upacara Adat/Ritual | Memimpin semua upacara adat terkait kelahiran (misal: mitoni, tedak siten, penguburan ari-ari). | Tetap memimpin upacara adat terkait kelahiran, meskipun beberapa tradisi mulai memudar. | |
Status/Kewenangan | Status sangat dihormati, memiliki “kesaktian” atau wibawa karismatik. | Status berubah, masih dihormati sebagai tetua bijaksana, namun kewenangan medis dibatasi. | |
Persyaratan/Sertifikasi | Tidak ada pendidikan formal atau sertifikasi dari lembaga kesehatan pemerintah. | Memerlukan sertifikat dan pelatihan khusus dari Puskesmas. | |
Biaya Layanan | Fleksibel, tidak mematok tarif mahal, bisa non-tunai. | Tetap fleksibel, namun ada dorongan ke layanan gratis melalui program pemerintah seperti Jampersal. |
Tabel ini secara eksplisit menunjukkan evolusi peran dukun beranak sebagai respons terhadap kebijakan pemerintah dan perkembangan layanan kesehatan modern. Ini menggambarkan bagaimana upaya dekolonisasi dan integrasi telah mengubah praktik dukun, dari penolong utama menjadi mitra komplementer. Ini juga menyoroti area di mana peran mereka masih relevan dan dihormati (misalnya, ritual adat), yang penting untuk strategi kesehatan masyarakat yang efektif. Tabel ini memberikan gambaran komparatif yang jelas tentang transformasi peran dukun, yang sangat penting untuk memahami dinamika kesehatan maternal di Indonesia.
V. Kesimpulan
Dukun beranak adalah figur sentral dalam masyarakat tradisional Indonesia, dengan peran yang melampaui bantuan medis semata. Mereka adalah penjaga kearifan lokal, penyedia dukungan emosional, dan pilar kohesi komunitas yang mengintegrasikan dimensi budaya, spiritual, dan sosial dalam layanan mereka. Keberadaan mereka yang mengakar kuat dalam sejarah dan budaya Indonesia, serta kedekatan emosional dan fleksibilitas akses yang mereka tawarkan, menjadikan mereka pilihan utama bagi banyak komunitas, terutama di daerah yang kurang terjangkau layanan medis modern.
Praktik mereka, meskipun diakui memiliki risiko dari perspektif medis modern, tetap menjadi pilihan masyarakat karena berbagai faktor. Ini termasuk aksesibilitas, fleksibilitas ekonomi (terlepas dari biaya yang kadang setara atau lebih tinggi dari layanan medis formal), kepercayaan turun-temurun yang mendalam, dukungan kuat dari keluarga dan komunitas, serta adanya ketidaknyamanan atau ketakutan terhadap intervensi medis modern. Pengalaman historis menunjukkan bahwa upaya penggantian dukun beranak oleh tenaga medis modern tidak efektif dan seringkali ditolak karena mengabaikan akar budaya dan sosial mereka yang kuat.
Pendekatan kemitraan yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia, yang mengalihfungsikan peran dukun dari penolong utama menjadi pendamping dan perawat pascapersalinan, merupakan langkah maju yang signifikan dalam mengintegrasikan kearifan lokal dengan standar kesehatan modern. Meskipun implementasi kemitraan ini menghadapi berbagai tantangan (seperti dana, transportasi, dan komunikasi yang belum memadai), studi kasus menunjukkan dampak positif dalam meningkatkan kesadaran dan praktik kesehatan yang lebih aman bagi ibu dan bayi. Pelatihan kemitraan telah terbukti mampu meningkatkan komunikasi, kerja sama, dan komitmen antara bidan dan dukun, yang pada gilirannya berkontribusi pada penurunan risiko infeksi dan peningkatan deteksi dini kehamilan.
Peran dukun beranak akan terus bergeser dan beradaptasi. Mereka kemungkinan besar tidak lagi menjadi penolong persalinan utama, seiring dengan peningkatan akses dan kepercayaan terhadap fasilitas medis. Namun, mereka akan tetap relevan sebagai pendamping, perawat pascapersalinan, dan terutama sebagai pemimpin ritual adat yang menjaga identitas budaya masyarakat. Masa depan dukun beranak terletak pada kemampuan mereka untuk beradaptasi dan berkolaborasi secara efektif dengan sistem kesehatan modern, dengan fokus pada peran komplementer yang memanfaatkan kepercayaan dan kedekatan emosional mereka dengan masyarakat. Seluruh analisis ini mengarah pada kesimpulan bahwa baik sistem kesehatan tradisional maupun modern yang murni tidak sepenuhnya efektif secara terpisah dalam konteks Indonesia. Relevansi dukun beranak yang berkelanjutan, terlepas dari risiko medis dan kebijakan pemerintah, menyoroti kebutuhan akan pendekatan “hibrida”. Ini berarti tidak hanya mentolerir dukun, tetapi secara aktif mengintegrasikan fungsi sosial dan budaya mereka (dukungan emosional, kepemimpinan ritual, kepercayaan komunitas) dengan keahlian medis bidan. Masa depan kesehatan ibu dan anak di Indonesia, terutama di daerah pedesaan, kemungkinan besar bergantung pada integrasi yang bernuansa dan peka budaya ini, di mana peran tradisional diadaptasi untuk mendukung tujuan kesehatan modern.
Pemerintah dan tenaga kesehatan perlu terus memperkuat kemitraan ini melalui pelatihan yang berkelanjutan, dukungan infrastruktur yang memadai, dan strategi komunikasi yang efektif, sambil tetap menghargai nilai-nilai budaya yang dipegang teguh masyarakat. Pendekatan ini akan memastikan bahwa upaya peningkatan kesehatan maternal dan neonatal dapat berjalan secara holistik dan berkelanjutan, menciptakan sistem layanan kesehatan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan unik masyarakat Indonesia.