Dukun Patah Tulang di Indonesia: Antara Tradisi, Kepercayaan, dan Tantangan Medis Modern


Pengobatan tradisional, khususnya praktik “dukun patah tulang” atau “sangkal putung,” telah lama mengakar kuat dalam struktur sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Fenomena ini bukan sekadar metode penyembuhan alternatif, melainkan sebuah cerminan kompleks dari sistem kepercayaan, kearifan lokal, dan respons terhadap kebutuhan kesehatan masyarakat yang terus berlanjut di tengah kemajuan medis modern. Dukun patah tulang seringkali menjadi pilihan pertama bagi banyak individu yang mengalami cedera muskuloskeletal, bahkan sebelum atau setelah mencari bantuan medis formal.

Daya tarik utama praktik ini terletak pada beberapa faktor, termasuk biaya yang relatif terjangkau atau sistem pembayaran “seikhlasnya,” kemudahan akses, serta pelayanan yang seringkali dianggap lebih personal dan ramah. Kisah-kisah sukses yang tersebar dari mulut ke mulut, seperti legenda Haji Naim dari Cimande yang melayani ratusan pasien per hari, atau narasi tentang dukun Indonesia yang konon menyembuhkan Raja Arab, semakin memperkuat kepercayaan dan legitimasi praktik ini di mata publik. Popularitas pengobatan tradisional yang berkelanjutan di era modern menunjukkan adanya kesenjangan signifikan antara sistem kesehatan formal dan kebutuhan riil serta preferensi budaya masyarakat. Ini bukan semata-mata masalah kurangnya edukasi medis, melainkan cerminan kompleks dari faktor sosio-ekonomi, budaya, dan psikologis yang mendalam.

Biaya perawatan medis modern yang tinggi, prosedur yang rumit dan birokratis , serta ketakutan akan operasi menjadi pendorong utama bagi masyarakat untuk mencari alternatif. Dukun patah tulang mengisi kekosongan ini dengan menawarkan solusi yang lebih terjangkau, mudah diakses, dan “ramah” secara budaya. Hal ini menyebabkan terciptanya sistem pelayanan kesehatan paralel yang kuat, di mana praktik tradisional tetap menjadi pilihan utama bagi sebagian besar masyarakat, terutama di daerah dengan akses terbatas ke fasilitas medis modern. Kondisi ini menyoroti tantangan besar dalam mewujudkan cakupan kesehatan universal dan kesetaraan akses di Indonesia. Pendekatan yang efektif tidak hanya berfokus pada penolakan praktik tradisional, tetapi juga pada bagaimana membangun jembatan kepercayaan, meningkatkan aksesibilitas dan keterjangkauan layanan medis, serta mengintegrasikan aspek psikologis dan budaya dalam strategi kesehatan publik.

Artikel ini bertujuan untuk menyajikan analisis komprehensif mengenai dukun patah tulang di Indonesia, meliputi sejarah, metode, faktor pendorong pilihan masyarakat, efektivitas dan risiko dari perspektif medis, perbandingan dengan ortopedi modern, serta kerangka hukum dan etika yang mengaturnya. Analisis ini diharapkan memberikan pemahaman yang seimbang dan berbasis bukti untuk mendukung keselamatan pasien dan pengembangan kebijakan kesehatan yang lebih baik.

2. Sejarah dan Akar Budaya Dukun Patah Tulang di Indonesia

Pengobatan patah tulang tradisional di Indonesia umumnya diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang, yang memberikan legitimasi kuat dan kepercayaan mendalam di masyarakat. Proses pewarisan ini seringkali bersifat personal dan eksklusif dalam lingkup keluarga, memastikan kelangsungan praktik antar generasi. Salah satu contoh paling ikonik adalah praktik pijat Haji Naim dari Cimande, Bogor, yang telah menjadi legenda. Praktik ini dimulai oleh Haji Naim dan diteruskan oleh tiga belas anaknya, di mana dua belas di antaranya mewarisi ilmu memijat. Metode pijat dan urut asal Cimande ini telah dikenal luas dan dianggap sebagai solusi utama untuk mengobati berbagai penyakit, termasuk patah tulang, bahkan di tengah perkembangan medis modern. Tempat pengobatan Haji Naim bahkan menyediakan ruang rawat inap dan buka hampir sepanjang hari, menunjukkan skala operasionalnya yang besar.

Narasi tentang dukun Indonesia yang konon berhasil menyembuhkan Raja Arab, seperti yang diceritakan oleh ulama besar Buya Hamka, menyoroti dimensi “go-international” dari pengobatan tradisional Indonesia dan memperkuat citra keampuhan spiritual. Dukun tersebut menolak imbalan materi, hanya berharap usia Raja panjang, yang oleh Hamka disebut sebagai “jiwa asli bangsa Indonesia”—sebuah filosofi yang semakin meningkatkan reputasi dan kepercayaan publik. Fenomena Ida Dayak, yang viral di media sosial karena kemampuannya memijat patah tulang hingga kembali normal tanpa memungut biaya (hanya menjual minyak), juga menunjukkan bagaimana figur karismatik dan narasi keberhasilan dapat menarik ribuan pasien dan menciptakan keramaian massal.

Pewarisan ilmu secara turun-temurun, ditambah dengan kisah-kisah legendaris dan figur karismatik, telah membangun modal sosial dan legitimasi budaya yang kuat bagi dukun patah tulang. Legitimasi ini seringkali melampaui validasi ilmiah formal, memungkinkan praktik tradisional ini tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang pesat di tengah modernisasi medis. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi keberhasilan dan kepercayaan publik dapat dibentuk oleh narasi budaya dan bukan hanya oleh bukti empiris. Keberlanjutan pengobatan tradisional sangat didukung oleh tradisi dan cerita sukses yang beredar di masyarakat. Praktik seperti Haji Naim yang diwariskan turun-temurun menciptakan fondasi kepercayaan jangka panjang dan identitas komunal yang kuat. Kisah penyembuhan Raja Arab dan fenomena Ida Dayak berfungsi sebagai “bukti” keberhasilan yang menyebar luas, menciptakan aura keajaiban dan keberhasilan yang melampaui batas-batas medis konvensional. Filosofi tidak mematok tarif juga membedakan mereka dari sistem medis modern yang sering dianggap mahal dan berorientasi profit.

Pemerintah Indonesia telah mengakui keberadaan pengobatan tradisional dan secara resmi memberikan perhatian terhadap perkembangannya sejak tahun 1989. Ini menunjukkan adanya upaya untuk mengelola dan membina praktik-praktik ini. Meskipun demikian, pengobatan tradisional ini tetap diminati di tengah inovasi pengobatan modern. Bahkan, banyak pasien yang awalnya berobat ke rumah sakit kemudian melanjutkan pengobatan ke dukun patah tulang, seringkali karena alasan non-medis seperti administrasi yang tidak rumit dan biaya yang seikhlasnya. Pemerintah dan tenaga kesehatan modern perlu menyadari bahwa pendekatan yang hanya menolak praktik tradisional secara langsung mungkin tidak efektif. Untuk mengelola praktik ini secara lebih aman, pendekatan yang lebih holistik diperlukan, yang mengakui dan menghargai akar budaya serta narasi kepercayaan, sambil secara bertahap memperkenalkan standar keamanan dan rujukan yang jelas. Edukasi kesehatan harus dirancang untuk berdialog dengan, bukan menentang, narasi budaya ini, guna membangun jembatan kepercayaan yang lebih efektif.

3. Metode dan Teknik Pengobatan Tradisional Patah Tulang

Metode utama yang digunakan oleh dukun patah tulang meliputi pijat dan urut untuk mereposisi tulang atau otot yang mengalami patah atau terkilir. Proses ini seringkali melibatkan penekanan, penarikan, dan pengurutan di sekitar area cedera untuk mengendurkan otot dan memudahkan reposisi. Setelah tulang dianggap kembali pada posisi semula, dilakukan fiksasi atau pembidaian. Bahan yang digunakan untuk fiksasi umumnya berasal dari alam, seperti pelepah pisang, bambu yang dihaluskan (disebut

belle-belle atau salina), atau kardus tebal, yang diikat untuk mempertahankan posisi tulang. Untuk patah tulang terbuka, dukun kadang membersihkan luka dengan air hangat dan antiseptik seperti rivanol atau betadin, bahkan ada yang mengklaim menjahit luka.

Dukun sering memanfaatkan obat alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan di lingkungan sekitar, seperti kunyit, daun turi, daun tulang, dan serai. Ramuan ini dapat diberikan dalam bentuk obat minum (misalnya “boro” di Sangihe, direbus hingga mendidih) atau obat tempel yang dihaluskan. Minyak urut yang terbuat dari tumbuhan alami dan disertai doa juga umum digunakan. Beberapa praktik juga menggunakan getah pisang muda yang dicincang sebagai antioksidan untuk membantu penutupan luka. Ada pula klaim tentang minyak yang “mengeluarkan minyak setiap malam Jumat legi” untuk mengobati cedera tulang.

Aspek spiritual sangat menonjol dalam pengobatan tradisional. Doa dan mantra sering dibacakan selama proses pengobatan, baik saat memijat maupun saat memberikan ramuan. Pemberian air putih yang telah diberi doa atau benda tertentu yang bersifat spiritual juga merupakan bagian dari proses. Di beberapa daerah, seperti di Ngada, kompres dan baluran ramuan digunakan, dengan durasi penyembuhan yang disesuaikan dengan usia pasien dan kondisi patah tulang. Di Muna, pengobatan Katampu melibatkan kompres, pembaluran ramuan, pembungkusan dengan pelepah pinang, dan pemberian air doa. Di Kelurahan Manente, Sangihe, pengobat memulai proses dengan berdoa, kemudian mencari tahu penyebab patah tulang dan melihat langsung kondisi tulang untuk menentukan pengobatan yang tepat.

Setiap daerah di Indonesia memiliki teknik atau metode pengobatan patah tulang tradisional yang berbeda-beda, menunjukkan kekayaan kearifan lokal. Di Kelurahan Manente, Sangihe, pengobatan melibatkan ramuan minum (boro) dan obat tempel dari daun turi, daun tulang, dan kunyit, disertai pantangan makan daging ayam dan alkohol selama proses penyembuhan. Di Kalimantan Selatan, terdapat tradisi “batimung” yang melibatkan penguapan ramuan herbal dan pembacaan mantra untuk mengobati sakit tulang. Ada juga praktik “paurutan” yang sangat diminati di Lampihong, Balangan.

Meskipun terdapat variasi regional dalam bahan dan ritual, pola dasar pengobatan dukun patah tulang di Indonesia menunjukkan konsistensi dalam penggunaan manipulasi fisik, bahan alami, dan elemen spiritual. Ini mengindikasikan bahwa praktik ini bukan sekadar tindakan acak, melainkan sebuah sistem pengetahuan lokal yang terstruktur, meskipun tanpa validasi ilmiah modern. Pengobatan tradisional ini mencerminkan pendekatan holistik yang mengintegrasikan aspek fisik (manipulasi, ramuan), psikologis (sugesti positif, kepercayaan), dan spiritual (doa, mantra). Pendekatan ini kontras dengan model biomedis modern yang cenderung lebih reduksionistik pada aspek fisik dan patologi. Dukun seringkali juga memberikan pantangan makanan dan anjuran istirahat , menunjukkan pemahaman tentang proses pemulihan. Namun, ketiadaan standar diagnosis, sterilitas, dan pemahaman anatomi yang mendalam menimbulkan risiko inheren yang signifikan. Keberadaan sistem pengobatan informal yang terstruktur ini, meskipun tanpa dasar ilmiah modern, menunjukkan adaptasi terhadap sumber daya lokal dan kebutuhan masyarakat. Namun, kurangnya diagnosis objektif (seperti X-ray), ketiadaan prosedur steril, dan potensi manipulasi yang tidak tepat secara inheren menimbulkan risiko komplikasi serius. Oleh karena itu, pengakuan terhadap elemen spiritual dan psikologis dalam praktik ini dapat menjadi titik masuk untuk dialog dan kolaborasi dengan sistem medis formal, misalnya dengan fokus pada dukungan psikologis atau rujukan kasus yang membutuhkan intervensi medis.

4. Faktor Pendorong Masyarakat Memilih Dukun Patah Tulang

Salah satu faktor paling dominan adalah biaya pengobatan yang jauh lebih terjangkau dibandingkan perawatan di rumah sakit atau fasilitas medis modern. Banyak dukun tidak mematok tarif, menerima imbalan seikhlasnya, bahkan dalam bentuk non-tunai seperti beras atau gula, yang sangat meringankan beban ekonomi pasien. Mahalnya biaya implan tulang modern juga menjadi keprihatinan yang mendorong pencarian alternatif.

Dukun patah tulang seringkali lebih mudah dijangkau, terutama bagi masyarakat di daerah pedesaan atau terpencil yang memiliki keterbatasan akses ke fasilitas medis modern. Pelayanan yang diberikan oleh dukun atau tukang urut seringkali dianggap lebih ramah, personal, dan tidak melibatkan birokrasi yang rumit seperti di rumah sakit.

Masyarakat memiliki keyakinan mendalam bahwa pengobat tradisional, melalui minyak urut atau kekuatan spiritualnya, memiliki kemampuan supernatural yang dapat mempercepat kesembuhan. Kepercayaan terhadap keampuhan dukun dan metode yang digunakannya, termasuk doa dan mantra, menjadi faktor penentu utama dalam pemilihan pengobatan. Faktor motivasi untuk sembuh, kepercayaan akan manfaat yang didapat, dan keyakinan terhadap penyedia layanan secara signifikan mempengaruhi pilihan ini.

Ketakutan akan prosedur operasi, risiko infeksi di rumah sakit, atau komplikasi pasca-operasi menjadi alasan kuat bagi sebagian masyarakat untuk menghindari pengobatan medis modern. Beberapa pasien mungkin menganggap cedera trauma tulang yang mereka alami tidak mengancam jiwa, sehingga merasa tidak perlu dibawa ke rumah sakit atau dokter. Ada juga kecenderungan masyarakat merasa sungkan atau tidak mengerti istilah medis saat berkomunikasi dengan petugas kesehatan modern, yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan.

Pengobatan tradisional penyakit tulang bukan fenomena baru, melainkan sudah menjadi bagian dari budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Pengalaman positif dari anggota keluarga atau orang-orang di sekitar juga sangat mempengaruhi keputusan seseorang untuk memilih dukun patah tulang. Faktor sosial, ekonomi, budaya, dan psikologis secara kolektif berkontribusi terhadap keterlambatan atau penolakan penanganan medis formal.

Pilihan masyarakat untuk berobat ke dukun patah tulang adalah hasil dari interaksi kompleks antara kendala ekonomi-struktural (biaya, akses), hambatan psikologis (ketakutan, ketidaknyamanan), dan sistem kepercayaan budaya yang kuat. Faktor-faktor ini seringkali lebih dominan dalam pengambilan keputusan pasien daripada pertimbangan medis rasional semata, menunjukkan bahwa kesehatan adalah isu multidimensional yang tidak bisa hanya didekati dari perspektif biomedis. Faktor ekonomi (biaya yang terjangkau) dan aksesibilitas (kemudahan jangkauan) secara langsung beresonansi dengan realitas kehidupan masyarakat berpenghasilan rendah atau yang tinggal di daerah terpencil. Kepercayaan dan tradisi (faktor budaya) mengisi kekosongan informasi atau ketidaknyamanan dengan sistem medis formal, memberikan rasa aman, harapan, dan validasi sosial. Ketakutan akan prosedur medis (psikologis) memperkuat preferensi ini. Ini membentuk lingkaran umpan balik positif yang memperkuat pilihan dukun. Untuk menggeser preferensi ini ke arah pengobatan medis yang lebih aman dan efektif, pemerintah dan penyedia layanan kesehatan perlu tidak hanya mengatasi masalah biaya dan akses (misalnya, melalui perluasan cakupan BPJS atau subsidi), tetapi juga membangun kepercayaan, mengurangi ketakutan melalui komunikasi yang efektif, dan mengintegrasikan pemahaman budaya dalam setiap kampanye edukasi kesehatan. Hanya menawarkan solusi medis tanpa memahami konteks sosio-budaya yang mendasari keputusan pasien tidak akan efektif. Selain itu, perlu adanya inovasi dalam sistem medis modern, seperti pengembangan implan yang lebih terjangkau , untuk mengurangi hambatan ekonomi yang ada.

5. Efektivitas dan Risiko Pengobatan Dukun Patah Tulang: Perspektif Medis

Pengobatan tradisional oleh dukun patah tulang memiliki potensi manfaat untuk penanganan keseleo atau cedera otot ringan, yang memang seringkali dapat tertangani dengan pijatan yang tepat. Selain itu, dukungan psikologis dan sugesti positif dari pengobat tradisional, termasuk pemberian air minum yang sudah diberi doa atau motivasi, dapat membuat pasien merasa lebih percaya dan tersugesti dengan kesembuhan. Ini merupakan aspek penting dari efek plasebo dan dukungan emosional yang dapat meringankan nyeri dan kecemasan. Dalam beberapa kasus cedera yang tidak terlalu parah, penanganan di tukang urut memang kadang berbuah manis, meskipun seringkali karena cedera tersebut memiliki potensi sembuh sendiri.

Namun, dari perspektif medis, risiko dan komplikasi serius yang timbul dari penanganan patah tulang sejati oleh dukun jauh melampaui potensi manfaatnya. Komplikasi paling umum dan serius adalah malunion dan nonunion. Malunion adalah kondisi ketika tulang menyatu dalam posisi yang tidak tepat atau bengkok, menyebabkan gangguan fungsi dan bentuk tubuh. Sementara itu, nonunion adalah kegagalan tulang untuk menyatu sama sekali. Kedua kondisi ini dapat menyebabkan nyeri kronis, keterbatasan gerak, dan seringkali memerlukan operasi perbaikan tambahan yang rumit. Beberapa pasien secara langsung melaporkan penyesalan karena tulangnya tidak menyatu sempurna atau bengkok setelah berobat ke dukun.

Patah tulang terbuka yang ditangani oleh dukun memiliki risiko sangat tinggi mengalami infeksi karena kurangnya sterilitas dalam prosedur, yang dapat menyebabkan osteomielitis (infeksi tulang yang serius). Infeksi ini dapat menyebar ke seluruh tubuh, memerlukan penanganan kompleks seperti pembedahan dan antibiotik jangka panjang, dan dalam kasus parah, dapat berujung pada amputasi. Data menunjukkan peningkatan kasus infeksi dari luka patah tulang akibat penanganan dukun setiap tahunnya. Pemijatan atau manipulasi yang tidak tepat pada area patah tulang juga dapat melukai pembuluh darah di sekitarnya, menyebabkan perdarahan baru atau bahkan syok. Selain itu, cedera saraf dapat terjadi, mengakibatkan mati rasa, kelemahan, atau nyeri kronis jangka panjang.

Sindrom Kompartemen adalah kondisi ketika tekanan berlebihan menumpuk di dalam ruang otot tertutup akibat perdarahan internal atau pembengkakan setelah cedera atau pemijatan. Tekanan ini dapat menghambat aliran darah, menyebabkan kerusakan otot dan saraf permanen. Jika tidak ditangani segera, dapat berujung pada kematian jaringan (gangrene) dan amputasi. Patah tulang yang tidak ditangani dengan baik juga dapat menyebabkan nyeri kronis, bahkan setelah masa pemulihan, karena ketidaksejajaran pada penyatuan tulang atau kerusakan pada permukaan sendi. Ini juga dapat mempercepat timbulnya artritis atau radang sendi pasca-trauma.

Studi kasus menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah penderita kecacatan anggota gerak (neglected fractures) yang berobat ke rumah sakit setelah sebelumnya ditangani dukun patah tulang. Di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, kasus ini meningkat dari 56 kasus (periode 1998-2000) menjadi 150 penderita (periode 2003-2007). Dari 150 penderita tersebut, 22 pasien mengalami infeksi dan 32 mengalami deformitas, bahkan ada yang memerlukan tindakan amputasi untuk menyelamatkan jiwa.

Meskipun pengobatan tradisional memberikan manfaat psikologis dan mungkin efektif untuk cedera ringan seperti keseleo, risikonya jauh melampaui manfaatnya untuk kasus patah tulang sejati. Komplikasi serius yang diakibatkannya tidak hanya menyebabkan penderitaan fisik dan finansial bagi individu, tetapi juga menciptakan beban ganda yang signifikan bagi sistem kesehatan modern yang harus menangani kasus “neglected fractures” ini. Ketiadaan diagnosis akurat (tanpa X-ray/MRI), kurangnya prosedur steril, dan manipulasi fisik yang tidak tepat adalah penyebab langsung dari sebagian besar komplikasi ini. Kepercayaan buta pada dukun dan penundaan penanganan medis yang tepat secara kausal memperburuk prognosis dan mengubah cedera yang mungkin sederhana menjadi masalah kronis atau permanen. Komplikasi ini tidak hanya menyebabkan penderitaan fisik dan finansial yang besar bagi individu (misalnya, biaya operasi ulang, rehabilitasi jangka panjang, hilangnya produktivitas), tetapi juga membebani sistem kesehatan modern yang harus mengalokasikan sumber daya untuk menangani kasus-kasus “neglected fractures” yang seharusnya dapat dicegah. Hal ini menyoroti urgensi edukasi publik yang lebih baik tentang bahaya penanganan patah tulang yang tidak tepat, serta pentingnya rujukan dini ke fasilitas medis yang kompeten.

Tabel 2: Komplikasi Utama Akibat Penanganan Patah Tulang yang Tidak Tepat

KomplikasiDeskripsi SingkatDampak Potensial
MalunionTulang menyatu dalam posisi tidak tepat atau bengkok.Gangguan fungsi anggota tubuh, nyeri kronis, memerlukan operasi perbaikan tambahan yang rumit.
NonunionTulang gagal menyatu sama sekali.Nyeri terus-menerus, mobilitas terbatas, memerlukan operasi tambahan untuk penyambungan.
Infeksi (Osteomielitis)Infeksi serius pada tulang, terutama pada patah tulang terbuka.Penyebaran infeksi ke seluruh tubuh, memerlukan antibiotik jangka panjang dan/atau pembedahan, risiko amputasi.
Kerusakan Saraf/Pembuluh DarahCedera pada saraf atau pembuluh darah di sekitar area patah.Mati rasa, kelemahan, nyeri kronis jangka panjang, perdarahan hebat, syok, kematian jaringan (nekrosis).
Sindrom KompartemenTekanan berlebihan pada ruang otot tertutup akibat perdarahan internal atau pembengkakan.Menghambat aliran darah, menyebabkan kerusakan otot dan saraf permanen, memerlukan operasi darurat.
GangreneKematian jaringan akibat kekurangan oksigen dan nutrisi.Memerlukan pengangkatan jaringan mati, risiko amputasi, sepsis yang mengancam jiwa.
Nyeri Kronis/Artritis Pasca-traumaNyeri berkepanjangan atau radang sendi setelah pemulihan.Penurunan kualitas hidup, memerlukan manajemen nyeri berkelanjutan, mungkin operasi penggantian sendi.

6. Perbandingan Dukun Patah Tulang dengan Ortopedi Modern

Perbedaan mendasar dalam filosofi dan metodologi antara dukun patah tulang dan ortopedi modern secara kausal menjelaskan mengapa meskipun keduanya bertujuan untuk menyembuhkan, hasilnya bisa sangat kontras, terutama dalam kasus patah tulang yang kompleks. Ini menyoroti dilema etis dan praktis dalam pilihan pengobatan bagi masyarakat.

Tabel 1: Perbandingan Pendekatan Pengobatan Patah Tulang (Tradisional vs. Medis Modern)

AspekDukun Patah Tulang (Tradisional)Dokter Ortopedi (Medis Modern)
DiagnosisPalpasi (perabaan), intuisi, perabaan getaran panas/dingin, analisis penyebab non-medis.Pemeriksaan fisik, foto Rontgen, MRI, CT-scan untuk diagnosis akurat lokasi dan tingkat keparahan.
Metode PenangananPijat, urut, reposisi manual, fiksasi dengan bidai alami (bambu, pelepah pisang, kardus), ramuan herbal (minum/tempel), doa/mantra.Reposisi (tertutup/terbuka), imobilisasi (gips, sling, perban khusus), operasi dengan pemasangan pen/plat/sekrup untuk stabilisasi.
Bahan/AlatMinyak urut, ramuan herbal (kunyit, daun turi, daun tulang, serai, getah pisang), bambu, pelepah pisang, kardus, kain kassa.Gips, sling, perban khusus, pen, plat, sekrup, alat bedah steril, obat-obatan (analgesik, antibiotik).
Durasi Penyembuhan (umum)Kasus tidak parah sekitar 1 bulan, kasus parah 2-3 bulan (seringkali untuk kasus yang relatif ringan atau dapat sembuh sendiri, dan tidak menjamin penyatuan sempurna).Berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, sangat tergantung pada jenis dan tingkat keparahan patah tulang serta kepatuhan pasien.
BiayaRelatif murah, seringkali seikhlasnya, atau dalam bentuk non-tunai.Cenderung mahal, namun dapat ditanggung oleh asuransi kesehatan seperti BPJS.
Potensi Risiko/KomplikasiSangat tinggi: Malunion, nonunion, infeksi (osteomielitis), kerusakan saraf/pembuluh darah, sindrom kompartemen, gangrene, nyeri kronis, artritis pasca-trauma.Risiko terkait operasi (infeksi, perdarahan, anestesi), namun dengan protokol pencegahan dan penanganan komplikasi yang terstandar.
Dasar PengetahuanPengalaman turun-temurun, kearifan lokal, spiritualitas, intuisi.Berbasis bukti ilmiah (evidence-based medicine), anatomi, fisiologi, patologi, protokol medis terstandar.

Dukun mengandalkan kemampuan perabaan (palpasi) untuk merasakan letak tulang yang patah, menilai getaran panas atau dingin, dan kadang-kadang menggunakan intuisi atau bisikan spiritual untuk menentukan tingkat keparahan. Metode ini bersifat subjektif dan tidak dapat mengidentifikasi jenis fraktur secara presisi. Sebaliknya, dokter ortopedi melakukan pemeriksaan fisik yang sistematis dan didukung oleh pemeriksaan pencitraan diagnostik seperti foto Rontgen, MRI (Magnetic Resonance Imaging), atau CT-scan (Computed Tomography scan). Teknologi ini memungkinkan diagnosis yang akurat mengenai lokasi, jenis, dan tingkat keparahan patah tulang, termasuk fraktur sederhana, terbuka, tertutup, kominutif, atau stres.

Dalam hal penanganan, dukun melakukan reposisi tulang dengan pijat dan urut, kemudian memfiksasi area yang cedera dengan bidai tradisional dari bahan alami. Fiksasi ini seringkali dibuka setiap hari untuk pemijatan ulang. Berbeda dengan itu, dokter ortopedi akan memastikan reposisi tulang yang tepat dan sejajar sebelum melakukan imobilisasi dengan pemasangan gips atau

sling. Untuk patah tulang yang parah, hancur, atau terbuka, tindakan operasi dilakukan untuk menyambung tulang menggunakan pen, plat, atau sekrup khusus, memastikan stabilitas internal yang optimal untuk penyembuhan.

Filosofi pengobatan tradisional berakar pada pengalaman yang diwariskan turun-temurun, kearifan lokal, dan seringkali melibatkan elemen spiritual seperti doa dan mantra, serta kepercayaan pada kekuatan alam atau supranatural. Sementara itu, filosofi pengobatan modern didasarkan pada prinsip-prinsip bukti ilmiah (

evidence-based medicine), pemahaman mendalam tentang anatomi dan fisiologi tubuh manusia, serta protokol medis yang ketat, termasuk sterilitas, untuk memastikan keamanan dan efektivitas.

Keunggulan dukun patah tulang terletak pada akses yang mudah, biaya yang terjangkau, pendekatan personal dan budaya yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat, serta efek sugesti positif yang dapat meringankan nyeri dan kecemasan. Namun, keterbatasannya meliputi risiko komplikasi yang sangat tinggi (malunion, infeksi, kerusakan saraf), kurangnya akurasi diagnosis, tidak adanya sterilitas, dan ketidakmampuan menangani patah tulang kompleks atau terbuka. Di sisi lain, keunggulan medis modern mencakup diagnosis yang akurat dan objektif, penanganan yang presisi untuk semua jenis fraktur, jaminan sterilitas, kemampuan menangani komplikasi, serta program rehabilitasi terstruktur untuk pemulihan fungsi optimal. Keterbatasan medis modern adalah biaya yang cenderung mahal, prosedur yang mungkin terasa birokratis, dan terkadang kurangnya sentuhan personal atau pemahaman budaya yang mendalam.

Perbedaan mendasar dalam filosofi (empiris-spiritual vs. ilmiah-berbasis bukti) dan metodologi (subjektif-tradisional vs. objektif-teknologis) antara dukun patah tulang dan ortopedi modern secara kausal menjelaskan mengapa meskipun keduanya bertujuan untuk menyembuhkan, hasilnya bisa sangat kontras, terutama dalam kasus patah tulang yang kompleks. Ketiadaan diagnosis objektif dan standar sterilitas pada praktik dukun secara langsung meningkatkan risiko komplikasi serius seperti malunion, nonunion, dan infeksi. Sebaliknya, penggunaan teknologi diagnostik yang canggih dan prosedur steril oleh ortopedi secara kausal meningkatkan kemungkinan penyembuhan yang optimal, mengurangi risiko komplikasi, dan memungkinkan rehabilitasi yang efektif. Perbedaan filosofis ini menciptakan dilema signifikan bagi pasien. Mereka yang memilih dukun mungkin tidak sepenuhnya memahami risiko medis yang melekat pada pendekatan non-ilmiah, atau mereka mungkin memprioritaskan faktor-faktor non-medis seperti biaya dan kepercayaan. Oleh karena itu, edukasi kesehatan harus menekankan bukan hanya “mana yang benar”, tetapi “mengapa” satu pendekatan lebih aman dan efektif untuk jenis cedera tertentu berdasarkan bukti ilmiah, tanpa serta-merta merendahkan nilai budaya pengobatan tradisional untuk kondisi lain atau sebagai dukungan psikologis. Penekanan harus pada pengambilan keputusan yang terinformasi.

7. Kerangka Hukum dan Etika dalam Praktik Pengobatan Tradisional

Pemerintah Indonesia telah berupaya mengatur pelayanan kesehatan tradisional melalui berbagai regulasi. Payung hukum utamanya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional. Regulasi ini mengklasifikasikan pelayanan kesehatan tradisional menjadi empiris (manfaat dan keamanan terbukti empiris), komplementer (memanfaatkan ilmu biomedis dan biokultural, terbukti ilmiah), dan integrasi (mengombinasikan konvensional dengan komplementer). Lebih lanjut, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Sentra Penapisan dan Pengembangan Penyehatan Tradisional (SP3T) bertujuan untuk memberikan pedoman, menjamin keamanan dan manfaat, serta melakukan penapisan terhadap metode, alat, dan bahan kesehatan tradisional yang akan dikembangkan atau dimanfaatkan masyarakat.

Untuk mendapatkan izin praktik (Surat Izin Praktik Tenaga Kesehatan Tradisional/SIPTKT), praktisi harus memenuhi berbagai persyaratan administratif dan teknis, termasuk fotokopi STR (Surat Tanda Registrasi), surat pernyataan metode pelayanan, KTP, ijazah pendidikan kesehatan tradisional, pas foto, surat keterangan lokasi praktik dari lurah/desa, pengantar puskesmas, dan rekomendasi dari asosiasi sejenis. Pemerintah secara tegas wajib memberi aturan agar sangkal putung dapat bertanggung jawab atas pelaksanaan kewajibannya sebagai pelaku usaha. Meskipun regulasi dan persyaratan izin sudah ada, faktanya masih banyak praktik pengobatan tradisional yang belum mengantongi izin namun tetap menyelenggarakan praktiknya. Ada asosiasi seperti PERPATRI (Perkumpulan Terapis Tradisional Patah Tulang, Urat dan Sendi Indonesia) yang memiliki syarat keanggotaan, termasuk kewajiban mengikuti pembekalan dan standarisasi dalam penanganan berbagai jenis fraktur.

Kasus infeksi dan kecacatan yang diakibatkan oleh penanganan dukun patah tulang yang salah terus meningkat setiap tahunnya. Pertanggungjawaban pidana atas kelalaian (malpraktik) yang menyebabkan luka berat atau kematian diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Pasal 359 (menyebabkan mati karena kealpaan) dan Pasal 360 (menyebabkan luka berat karena kealpaan), serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Jika kelalaian tersebut dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau profesi, pidana dapat ditambah.

Prinsip-prinsip etika universal dalam pelayanan kesehatan, seperti otonomi (menghormati keputusan pasien), beneficence (berbuat baik), justice (keadilan), non-maleficence (tidak merugikan), veracity (kejujuran), fidelity (menepati janji), confidentiality (kerahasiaan), dan accountability (akuntabilitas), juga harus diterapkan dalam praktik pengobatan tradisional. Pentingnya

informed consent, yaitu persetujuan pasien setelah memahami sepenuhnya risiko dan manfaat pengobatan, adalah krusial. Standar pelayanan harus bersifat jelas, masuk akal, mudah dimengerti, dan dapat dipercaya kebenarannya.

Meskipun kerangka hukum dan etika untuk mengatur pengobatan tradisional sudah ada di Indonesia, implementasi dan penegakannya masih menghadapi tantangan besar. Ini menciptakan “zona abu-abu” di mana banyak praktik tidak berizin dan akuntabilitas atas malpraktik sulit ditegakkan, yang pada akhirnya berpotensi membahayakan keselamatan masyarakat. Penegakan hukum menjadi sulit karena sifat informal, terdesentralisasi, dan seringkali tidak terdata dari banyak praktik dukun. Kurangnya kesadaran masyarakat akan hak-hak konsumen dan risiko malpraktik juga menjadi faktor penghambat. Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan dan edukasi secara proaktif. Meskipun ada asosiasi seperti PERPATRI yang berupaya melakukan standarisasi , jangkauan dan pengaruhnya mungkin terbatas. Kegagalan dalam penegakan regulasi menciptakan kondisi di mana pasien tidak terlindungi sepenuhnya dari praktik yang tidak aman atau malpraktik. Hal ini juga menghambat potensi integrasi praktik pengobatan tradisional yang aman dan terbukti bermanfaat ke dalam sistem kesehatan formal. Kebijakan ke depan harus fokus pada strategi implementasi yang lebih efektif, mungkin melalui insentif bagi dukun untuk berizin dan mengikuti pelatihan standar, serta kampanye edukasi yang lebih masif dan mudah diakses oleh masyarakat untuk meningkatkan literasi kesehatan dan kesadaran akan hak-hak mereka.

8. Dukun Patah Tulang dalam Konteks Kesehatan Masyarakat

Dukun patah tulang memainkan peran penting dalam sistem kesehatan informal, terutama di daerah-daerah yang minim akses terhadap fasilitas kesehatan modern. Mereka sering menjadi tujuan utama bagi masyarakat yang mengalami keseleo, terkilir, jatuh, atau patah tulang. Kontribusi positif dukun ini terletak pada kemampuannya untuk membantu pasien yang sangat membutuhkan perawatan dan penyembuhan dengan biaya yang sangat terjangkau atau bahkan tanpa biaya tetap, mengurangi beban finansial masyarakat.

Pemerintah telah berupaya untuk menapis dan mengembangkan pelayanan kesehatan tradisional, sebagaimana diatur dalam Permenkes Nomor 32 Tahun 2022. Tujuannya adalah menjamin keamanan dan manfaat pelayanan kesehatan tradisional. Ada juga dorongan untuk mengintegrasikan obat tradisional ke dalam sistem pelayanan kesehatan formal, termasuk upaya agar obat tradisional dapat masuk ke dalam formularium obat nasional. Pemerintah daerah memiliki tugas dan kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penapisan dan pengembangan pelayanan kesehatan tradisional di wilayahnya. Disarankan agar institusi kesehatan modern dapat bekerjasama dengan pihak pengobatan tradisional, baik untuk memberikan pelatihan bagi penyedia layanan maupun sebagai tempat rujukan bagi kasus-kasus yang memerlukan penanganan medis.

Tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah seringkali menjadi faktor kunci mengapa mereka tidak menyadari bahaya dan komplikasi dari penanganan patah tulang yang salah oleh dukun. Edukasi harus mencakup penjelasan yang jelas mengenai perbedaan antara cedera ringan (seperti keseleo) dan patah tulang serius, serta risiko dan komplikasi yang dapat timbul dari penanganan yang tidak tepat. Pentingnya penanganan medis yang cepat dan akurat oleh dokter ortopedi harus ditekankan. Masyarakat perlu diberdayakan untuk membuat keputusan yang terinformasi, dengan advis dan himbauan terpercaya sesuai dengan keilmuan terkini.

Meskipun dukun patah tulang mengisi kekosongan layanan kesehatan di banyak komunitas, terutama di daerah terpencil, keberadaan mereka juga menciptakan dilema kesehatan masyarakat yang kompleks. Integrasi yang efektif dari pengobatan tradisional ke dalam sistem kesehatan formal memerlukan lebih dari sekadar regulasi; ia membutuhkan pendekatan multi-sektoral yang melibatkan edukasi yang peka budaya, peningkatan akses medis, dan dialog konstruktif antara praktisi tradisional dan modern. Kesenjangan akses dan keterjangkauan biaya dalam sistem kesehatan formal secara langsung mendorong ketergantungan masyarakat pada dukun. Ini bukan hanya masalah pilihan individu, tetapi masalah sistemik yang perlu diatasi di tingkat kebijakan. Daripada hanya melarang praktik dukun, pemerintah harus mempertimbangkan strategi “pengurangan dampak buruk” (harm reduction) dan “integrasi selektif”. Ini bisa berarti:

  • Edukasi Proaktif dan Peka Budaya: Meluncurkan kampanye edukasi kesehatan yang masif, mudah diakses, dan peka budaya. Kampanye ini harus secara jelas membedakan antara cedera ringan yang mungkin bisa ditangani secara tradisional dan patah tulang serius yang memerlukan intervensi medis segera, serta menjelaskan risiko komplikasi dari penanganan yang tidak tepat.

  • Peningkatan Akses dan Keterjangkauan Layanan Medis: Pemerintah perlu terus berinvestasi dalam perluasan fasilitas ortopedi dan memastikan skema pembiayaan kesehatan (seperti BPJS) dapat diakses dan dimanfaatkan secara maksimal oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama di daerah terpencil.

  • Pembinaan dan Sistem Rujukan: Mengembangkan program pelatihan bagi dukun patah tulang untuk membantu mereka mengidentifikasi kasus yang memerlukan rujukan medis segera (misalnya, patah tulang terbuka, deformitas parah) dan membangun sistem rujukan formal yang efektif antara dukun dan fasilitas kesehatan. Ini dapat memanfaatkan peran dukun sebagai “gerbang” awal ke sistem kesehatan.

  • Penelitian dan Validasi: Mendorong penelitian ilmiah lebih lanjut terhadap ramuan atau teknik tradisional yang berpotensi bermanfaat dan aman untuk kemudian diintegrasikan secara ilmiah ke dalam praktik kesehatan formal, sambil secara tegas mengidentifikasi dan melarang praktik yang jelas-jelas berbahaya.

9. Kesimpulan

Praktik dukun patah tulang merupakan fenomena yang sangat mengakar dalam budaya Indonesia, didorong oleh kombinasi faktor ekonomi, aksesibilitas, dan kepercayaan spiritual yang mendalam di masyarakat. Ini menciptakan sistem kesehatan informal yang kuat dan bertahan. Meskipun ada kisah sukses yang tersebar dan manfaat psikologis yang dirasakan, dari perspektif medis, penanganan patah tulang sejati oleh dukun memiliki risiko komplikasi serius yang sangat tinggi, seperti malunion, nonunion, infeksi (osteomielitis), dan kerusakan saraf, yang seringkali berujung pada kecacatan permanen atau memerlukan intervensi medis yang lebih kompleks dan mahal di kemudian hari.

Terdapat perbedaan fundamental antara pendekatan diagnosis, metode penanganan, dan filosofi dasar antara dukun patah tulang yang berbasis pengalaman dan spiritual, dengan ortopedi modern yang berbasis bukti ilmiah dan protokol medis. Meskipun pemerintah telah menetapkan kerangka regulasi dan etika untuk pengobatan tradisional, implementasi dan penegakan hukumnya masih menghadapi tantangan besar, menyebabkan banyak praktik tidak berizin dan berisiko tinggi.

Untuk menjamin keselamatan pasien dan mengoptimalkan hasil penyembuhan, sangat krusial adanya kolaborasi yang terstruktur antara pengobat tradisional dan tenaga medis modern. Dukun dapat berperan sebagai titik kontak awal untuk kasus cedera ringan (seperti keseleo) atau sebagai penyedia dukungan psikologis, namun kasus patah tulang sejati harus segera dirujuk ke dokter ortopedi untuk diagnosis dan penanganan yang tepat.

Berdasarkan analisis ini, beberapa rekomendasi dapat diajukan untuk peningkatan keselamatan pasien dan pengembangan kebijakan di masa depan:

  • Edukasi Masyarakat yang Komprehensif: Mengembangkan dan meluncurkan kampanye edukasi kesehatan yang masif, mudah diakses, dan peka budaya. Kampanye ini harus secara jelas membedakan antara cedera ringan yang mungkin bisa ditangani secara tradisional dan patah tulang serius yang memerlukan intervensi medis segera, serta menjelaskan risiko komplikasi dari penanganan yang tidak tepat.

  • Peningkatan Akses dan Keterjangkauan Layanan Medis: Pemerintah perlu terus berinvestasi dalam perluasan fasilitas ortopedi dan memastikan skema pembiayaan kesehatan (seperti BPJS) dapat diakses dan dimanfaatkan secara maksimal oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama di daerah terpencil.

  • Pembinaan dan Standardisasi Praktisi Tradisional: Mendorong praktisi dukun patah tulang untuk mendaftarkan izin praktik, mengikuti program pelatihan yang berfokus pada diagnosis dasar, identifikasi kasus yang memerlukan rujukan, dan praktik kebersihan yang memadai.

  • Pengembangan Sistem Rujukan Formal: Membangun mekanisme rujukan yang jelas dan efektif antara dukun patah tulang dan fasilitas kesehatan modern, sehingga pasien dengan fraktur serius dapat segera mendapatkan penanganan medis yang tepat.

  • Penelitian dan Validasi Ilmiah: Mendorong penelitian lebih lanjut terhadap ramuan atau teknik tradisional yang berpotensi bermanfaat dan aman untuk diintegrasikan secara ilmiah ke dalam praktik kesehatan formal, sambil secara tegas mengidentifikasi dan melarang praktik yang jelas-jelas berbahaya.

Pendekatan multi-sektoral yang holistik ini diharapkan dapat menjembatani kesenjangan antara pengobatan tradisional dan modern, mengoptimalkan manfaat dari kearifan lokal, sekaligus meminimalkan risiko demi keselamatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.