
Dukun di Indonesia: Menjelajahi Peran, Praktik, dan Relevansinya di Era Modern
Dukun, sebuah istilah yang akrab di telinga masyarakat Indonesia, merepresentasikan salah satu fenomena budaya yang paling kompleks dan multidimensional di Nusantara. Sosok dukun, yang seringkali disebut sebagai “orang pintar”, telah lama menjadi bagian integral dari lanskap sosial, budaya, dan spiritual di berbagai komunitas di seluruh kepulauan. Keberadaan mereka tidak hanya terbatas pada ranah pengobatan tradisional, tetapi juga meluas ke berbagai aspek kehidupan, mulai dari penasihat spiritual, penjaga adat, hingga bahkan aktor dalam dinamika politik lokal. Pemahaman tentang dukun memerlukan pendekatan yang holistik, melampaui stereotip dan konotasi negatif yang sering melekat, untuk mengungkap kedalaman makna dan peran mereka dalam masyarakat Indonesia yang kaya akan tradisi dan kepercayaan.
Pendekatan holistik sangat krusial dalam mengkaji fenomena dukun. Ini berarti melihat dukun tidak hanya dari satu dimensi, misalnya sebagai praktisi supranatural semata, tetapi juga mempertimbangkan konteks historis, sosiologis, antropologis, bahkan ekonomis dan legal yang melingkupinya. Dengan demikian, dapat dipahami bagaimana peran dukun telah berevolusi seiring waktu, beradaptasi dengan perubahan zaman, dan tetap relevan bagi sebagian besar masyarakat, bahkan di tengah gempuran modernisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan. Laporan ini akan menggali berbagai aspek tersebut, memberikan gambaran yang komprehensif dan berimbang mengenai dukun di Indonesia.
I. Definisi dan Evolusi Makna Dukun
A. Pengertian Dukun: Dari Keahlian Medis hingga Konotasi Supranatural
Secara umum, dukun dipahami sebagai individu yang memiliki keahlian supranatural atau kekuatan spiritual untuk membantu menyelesaikan berbagai masalah hidup, termasuk yang berkaitan dengan kesehatan, rezeki, jodoh, keselamatan, hingga hal-hal gaib lainnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan dukun sebagai orang yang mengobati, menolong orang sakit, atau memberikan jampi-jampi (mantra, guna-guna, dan sebagainya). Definisi ini juga mencakup pemimpin upacara agama Hindu Tengger. Menariknya, asal-usul kata “dukun” tidak selalu terkait dengan hal-hal magis. Peneliti Inggris Jennifer Nourse menemukan bahwa kata “dukun” berasal dari bahasa Persia
děhqn atau dukkan, yang berarti memiliki kemampuan untuk mengobati. Kamus Inggris-Melayu Bowrey pada tahun 1701 bahkan mendeskripsikan dukun sebagai ahli pengobatan dan sains. Hal ini menunjukkan bahwa pada mulanya, terminologi dukun justru disematkan untuk orang yang memiliki keahlian khusus, terutama dalam bidang pengobatan.
Makna kata “dukun” mengalami perubahan signifikan, menjadi lebih peyoratif dan berkonotasi mistis, sebagian besar akibat pengaruh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pemerintah kolonial berupaya menggantikan praktik tradisional dengan pendekatan yang berbasis ilmu pengetahuan, memandang profesi dukun secara negatif, tidak higienis, dan tidak ilmiah. Pandangan negatif ini menyebabkan dukun tidak lagi dilihat dari keahlian medisnya, melainkan semata-mata dari aspek mistisnya. Perubahan ini tercermin dalam kamus
Nederlandsch van Indie (1917) dan kamus Jawa (1934), hingga KBBI modern, yang mendeskripsikan dukun hanya sebagai orang yang memiliki kekuatan magis, bukan ahli kesehatan.
Pergeseran makna kata “dukun” dari keahlian medis menjadi konotasi supranatural, yang terutama dipengaruhi oleh pemerintah kolonial, bukan sekadar perubahan semantik biasa. Perubahan ini mencerminkan sebuah proses yang lebih luas, yaitu pembentukan dominasi pengetahuan, di mana kekuatan yang berkuasa, dalam hal ini kolonialisme, secara aktif mendefinisikan ulang dan mendelegitimasi sistem pengetahuan pribumi. Dengan melabeli dukun sebagai “tidak ilmiah” dan “magis”, otoritas kolonial secara efektif merusak otoritas medis tradisional yang telah lama dipegang oleh dukun, sekaligus membuka jalan bagi dominasi kedokteran Barat. Proses ini tidak hanya mengubah pemahaman linguistik, tetapi juga membentuk persepsi publik yang bertahan hingga kini, di mana peran dukun seringkali disalahpahami atau direduksi hanya pada aspek mistisnya, mengabaikan akar historisnya sebagai praktisi medis yang terampil.
B. Sejarah Keberadaan Dukun di Indonesia
Keberadaan dukun di Indonesia sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Kepercayaan terhadap dukun telah ada sejak peradaban primitif hingga masa sebelum Renaisans, di mana pengobatan dan kesehatan selalu melibatkan dunia roh dan dewa-dewa. Sebelum masuknya Islam, masyarakat Nusantara menganut animisme (kepercayaan terhadap roh nenek moyang) dan dinamisme (kepercayaan terhadap benda-benda yang memiliki energi spiritual), serta Hindu-Buddha. Kepercayaan-kepercayaan kuno ini menjadi fondasi kuat bagi eksistensi dukun sebagai penghubung antara dunia nyata dan gaib. Dukun seringkali dianggap sebagai lambang sistem kepercayaan Kejawen atau Kebatinan di Jawa, yang sangat kuat dengan animisme, pemujaan leluhur, dan shamanisme.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda, dengan agenda modernisasi dan higienitas, berupaya keras untuk menyingkirkan peran dukun, terutama dukun beranak. Dokter Belanda seperti Van Buuren mengecam praktik dukun beranak sebagai “malaikat kematian yang tidak kompeten” karena kurangnya alat steril. Upaya ini termasuk pendirian sekolah bidan pada tahun 1851, meskipun pada awalnya tidak banyak masyarakat yang mau menggunakannya karena pengalaman bidan yang belum sebanding dengan dukun beranak. Namun, pemerintah kolonial kemudian menyadari pentingnya peran dukun beranak dan mencoba mengadakan pelatihan bagi mereka, bahkan menugaskan mereka menjadi asisten bidan setelah konferensi dukun bayi pertama di Jawa pada 1930. Meskipun demikian, jumlah dukun beranak terus bertambah hingga puncaknya pada 1979 (hampir 80% kelahiran dibantu dukun beranak) dan 200.000 pada 1989, sebelum merosot setelah era Reformasi seiring pesatnya ilmu pengetahuan medis.
Meskipun upaya kolonial secara aktif menekan dan mengganti praktik dukun dengan kedokteran Barat, jumlah dukun, khususnya dukun beranak, justru terus meningkat dan sangat dimanfaatkan selama beberapa dekade. Hal ini menunjukkan sebuah ketahanan budaya yang mendalam dan bagaimana praktik tradisional tertanam kuat dalam masyarakat Indonesia. Sifat kepercayaan yang mengakar pada animisme, pemujaan leluhur, dan sistem kepercayaan lokal , ditambah dengan aksesibilitas dan biaya yang terjangkau yang ditawarkan oleh dukun , membuat ikatan emosional masyarakat dengan dukun lebih kuat daripada argumen ilmiah yang disodorkan oleh pihak kolonial. Ini juga menegaskan bahwa pilihan layanan kesehatan tidak semata-mata didasarkan pada rasionalitas ilmiah, tetapi sangat dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial, dan ekonomi yang sulit dihilangkan. Keberlanjutan dukun, bahkan di tengah tekanan kuat dari pemerintah dan ilmu pengetahuan, menyoroti bahwa praktik budaya, terutama yang berkaitan dengan aspek fundamental kehidupan seperti kelahiran dan kesehatan, sangat sulit untuk diberantas, melainkan cenderung beradaptasi dan berintegrasi dengan sistem modern.
II. Ragam Jenis dan Peran Dukun dalam Masyarakat
A. Tipologi Dukun Berdasarkan Spesialisasi dan Tradisi Lokal
Dukun di Indonesia memiliki spesialisasi yang sangat beragam, mencerminkan kekayaan tradisi dan kebutuhan masyarakat lokal. Tipologi ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori utama:
-
Dukun Penyembuh Tradisional: Ini adalah kategori yang paling umum, fokus pada pengobatan penyakit fisik dan mental.
-
Dukun Bayi/Beranak: Membantu persalinan, merawat ibu hamil dan bayi, serta memimpin upacara terkait kelahiran. Mereka memiliki kedekatan emosional dan ilmu turun-temurun.
-
Dukun Pijat: Ahli dalam memijat untuk penyembuhan atau relaksasi.
-
Dukun Patah Tulang: Mengobati cedera tulang.
-
Dukun Japa/Jampi: Menggunakan mantra dan memberikan jamu atau ramuan herbal untuk pasien.
-
Dukun Herbal/Jamu: Menggunakan pengetahuan luas tentang obat-obatan herbal.
-
Dukun Suwuk: Menyembuhkan penyakit menggunakan doa sebagai sumber kekuatan utama.
-
-
Dukun Spiritual dan Ritual: Fokus pada aspek spiritual, ramalan, dan upacara adat.
-
Dukun Petangan: Peramal yang menghitung waktu dan tanggal baik menggunakan primbon Jawa.
-
Dukun Paes/Bunting: Ahli merias pengantin dan memimpin ritual pernikahan.
-
Dukun Prewangan: Penghubung manusia dengan roh atau makhluk gaib.
-
Dukun Siwer: Pencegah kemalangan.
-
Dukun Pemangku Adat: Memimpin upacara ritual di suatu daerah dan dihormati karena menguasai adat istiadat dan doa-doa.
-
Dukun Tiban: Menyembuhkan penyakit yang berasal dari fenomena supranatural atau kerasukan roh.
-
-
Dukun dengan Konotasi Negatif (Ilmu Hitam): Meskipun seringkali distigma, jenis dukun ini juga diakui keberadaannya dalam masyarakat.
-
Dukun Santet: Mencelakai orang lain dengan ilmu hitam.
-
Dukun Pelet: Memikat seseorang dengan kekuatan gaib.
-
Dukun Susuk: Memasukkan jarum logam terpesona ke tubuh untuk kecantikan atau kekebalan.
-
Variasi regional (Jawa, Bugis-Makassar, Dayak, dll.). Spesialisasi dukun juga sangat bervariasi antar etnis dan daerah:
-
Jawa: Dikenal dengan dukun bayi, pijat, patah tulang, petangan, paes, japa/jampi. Juga siwer, prewangan, santet, susuk.
-
Bugis-Makassar: Dikenal sebagai sanro, dengan kategori sanro pabballe (penyembuh), sanro pauru (pijat/patah tulang), sanro puru (bisul/cacar), sanro pammana (bayi), sanro pasunna (sunat), sanro pattiro-tiro (peramal), sanro bunting (pengantin), sanro adongkoreng (kerasukan jin baik), hingga sanro sehere (tukang sihir) dan sanro tuilua (pemelihara roh jahat).
-
Kalimantan (Dayak): Dukun disebut “tabit” atau “langsang”, dipercaya dapat menggerakkan unsur alam seperti memanggil hujan atau mengirim angin topan. Mereka juga ditakuti karena penggunaan dukun dalam praktik berburu kepala. Ritual pengobatan melibatkan “balian sangiang” atau “tenung” sebagai upaya terakhir.
-
Papua (Asmat): Dukun dianggap memiliki kesaktian untuk menggerakkan unsur alam.
-
Sumatera (Minangkabau, Batak Toba): Ritual pengobatan seperti “Anak Balam” di Minangkabau menggunakan mantra, musik, dan tarian, di mana penari bisa kerasukan dan menjadi dukun. Di Batak Toba, dukun disebut “Parubat huta” yang memanggil roh nenek moyang dan menggunakan ramuan seperti kemiri, pinang, dan air mengalir.
Tabel 1: Jenis-jenis Dukun dan Spesialisasinya di Berbagai Daerah Indonesia
Jenis Dukun/Nama Lokal | Spesialisasi Utama | Daerah/Etnis Terkait | Referensi |
---|---|---|---|
Dukun Bayi/Beranak | Membantu persalinan, perawatan ibu & bayi, upacara kelahiran | Umum di Indonesia, Jawa, Bugis-Makassar | |
Dukun Pijat/Paururu | Ahli pijat, mengobati keseleo/patah tulang | Umum di Indonesia, Jawa, Bugis-Makassar | |
Dukun Japa/Jampi | Menggunakan mantra, memberikan jamu/herbal | Jawa, Umum di Indonesia | |
Dukun Petangan/Pattiro-tiro | Peramal, penentu hari baik/nasib | Jawa, Bugis-Makassar | |
Dukun Paes/Bunting | Merias pengantin, memimpin ritual pernikahan | Jawa, Bugis-Makassar | |
Dukun Prewangan | Penghubung dengan roh/makhluk gaib | Jawa, Bugis-Makassar | |
Dukun Santet/Sehere | Mencelakai orang dengan ilmu hitam | Umum di Indonesia, Jawa, Bugis-Makassar | |
Dukun Susuk | Memasukkan benda magis untuk kecantikan/kekebalan | Jawa, Umum di Indonesia | |
Dukun Siwer | Pencegah kemalangan | Jawa | |
Dukun Pemangku Adat | Pemimpin ritual adat, penjaga tradisi | Umum di Indonesia, Kandangtepus | |
Dukun Tiban | Menyembuhkan penyakit supranatural/kerasukan | Kandangtepus | |
Tabit/Langsang | Penggerak unsur alam, pelindung dari penyakit/ancaman | Dayak (Kalimantan) | |
Sanro | Istilah umum dukun di Bugis-Makassar | Bugis-Makassar | |
Parubat Huta | Penyembuh tradisional, panggil roh nenek moyang | Batak Toba |
B. Peran Sosial, Budaya, dan Ekonomi Dukun
Dukun menempati posisi unik dalam masyarakat Indonesia, sering dianggap sakti, ditakuti, namun juga sangat dicari. Mereka berfungsi sebagai penolong dan penasihat dalam berbagai masalah hidup, mulai dari kesehatan, rezeki, jodoh, hingga keselamatan. Di beberapa komunitas, dukun atau kyai bahkan menjadi penengah faktor sosial seperti cinta dan permusuhan. Mereka adalah penjaga kearifan lokal, dengan pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun, baik melalui jalur keturunan maupun proses pembelajaran. Di Dusun Lebak Tenam, Jambi, dukun memiliki kredibilitas lebih tinggi daripada profesional kesehatan modern karena pengetahuan herbal tradisional dan pengalaman puluhan tahun.
Dukun, sebagai penyembuh tradisional, masih memainkan peran penting dalam perawatan kesehatan, terutama di daerah pedesaan. Seringkali, layanan dukun digunakan bersamaan dengan pengobatan Barat. Di daerah pedesaan, dukun bisa menjadi pilihan pengobatan pertama, terutama jika fasilitas kesehatan modern tidak terjangkau atau kurang staf. Mereka menggunakan pengetahuan luas tentang obat-obatan herbal dan mengklaim legitimasi supranatural. Pengobatan tradisional melalui dukun juga sering memberikan sugesti positif kepada pasien, yang mempengaruhi jiwa pasien dan menawarkan solusi atas masalah yang dihadapi.
Dukun tidak hanya terbatas pada ranah personal dan kesehatan. Dalam struktur sosial Bugis-Makassar, meskipun dukun terkadang distigma, mereka semakin terbuka dan memperkuat posisi mereka, terutama di arena politik. Dukun dapat membantu calon politisi menciptakan aura kewibawaan, melindungi dari ilmu hitam, menciptakan ilusi bagi pemilih, dan memengaruhi pemilih. Hubungan antara politisi dan dukun bersifat timbal balik, saling menguntungkan secara spiritual, politik, dan ekonomi. Bahkan, penggunaan jasa dukun dalam kontestasi politik lokal seperti pemilihan kepala desa masih dianggap sebagai tradisi.
Keberlanjutan peran dukun dalam masyarakat modern, termasuk dalam politik dan ekonomi, meskipun menghadapi stigma dan sering dianggap “tidak ilmiah”, dapat dipahami melalui konsep modal budaya. Pengetahuan, intuisi, dan praktik warisan yang dimiliki dukun dihargai dalam kerangka budaya yang masih meyakini kekuatan supranatural. Dalam konteks politik, “penalaran mistis” ini menjadi aset berharga bagi kandidat yang mencari pengaruh dan legitimasi di luar kampanye rasional. Secara ekonomi, permintaan akan jasa mereka mempertahankan profesi ini. Hal ini menunjukkan bahwa modernitas tidak sepenuhnya menghapus tradisi, melainkan mendorong tradisi untuk beradaptasi dan menemukan ceruk baru. Dukun berhasil mengubah peran tradisional mereka menjadi bentuk modal sosial dan kewirausahaan yang berdampingan, dan kadang-kadang bersaing, dengan sistem modern. Fenomena ini menyoroti interaksi kompleks antara tradisi, kekuasaan, dan peluang ekonomi dalam masyarakat yang terus berubah.
III. Praktik, Ritual, dan Simbolisme Perdukunan
A. Metode dan Sumber Kekuatan Dukun
Dukun dikenal mengandalkan kekuatan di luar nalar, tidak menggunakan logika ilmiah, melainkan mantra, jampi-jampi, doa-doa tertentu, atau ritual yang diwariskan secara turun-temurun. Pengetahuan dukun seringkali diturunkan secara lisan, baik melalui pewarisan keluarga (orang tua/kakek-nenek) maupun melalui proses belajar/magang. Mantra dan jampi-jampi adalah bentuk sastra lisan yang masih bertahan dan banyak digunakan masyarakat Indonesia sejak dahulu, seringkali diawali dengan kalimat-kalimat yang diadopsi dari bahasa Arab seperti “Bismillahirahmanirohim” atau “Allahummaj’al” untuk mendapatkan kemudahan dan keberkahan dari Tuhan. Mantra digunakan untuk berbagai tujuan, mulai dari penyembuhan cacar, usus buntu, sakit gigi, hingga penyambung urat.
Ciri khas dukun adalah aura misterius dan klaim kemampuan supranatural. Mereka sering dianggap memiliki “kelebihan” seperti bisa berkomunikasi dengan makhluk halus, meramal masa depan, atau mengetahui hal-hal tersembunyi. Dukun dipercaya dapat berkomunikasi langsung dengan roh jahat maupun baik, dan roh-roh tersebut tidak menolak untuk diusir karena terpesona bahwa ada makhluk hidup yang dapat berkomunikasi dengan mereka. Beberapa dukun bahkan mengklaim dapat melakukan mukjizat, seperti mengubah kacang menjadi batu atau terbang. Kemampuan ini seringkali diperoleh melalui pengalaman spiritual seperti kasyaf, ilham, wangsit, atau renungan, dan juga terkait dengan benda-benda pusaka keramat.
Penggunaan elemen dari animisme, pemujaan leluhur, dan doa-doa Islami dalam praktik dukun menunjukkan adanya perpaduan spiritual yang mendalam di Indonesia. Integrasi ini bukan hanya kebetulan, melainkan sebuah adaptasi naratif yang disengaja. Dengan memasukkan frasa Arab dan referensi kepada Allah, dukun berupaya melegitimasi praktik mereka dalam masyarakat mayoritas Muslim, bahkan jika inti metodologinya berasal dari tradisi pra-Islam. Hal ini memungkinkan kelangsungan budaya dan penerimaan yang lebih luas, menjelaskan mengapa banyak Muslim masih berkonsultasi dengan dukun meskipun ada larangan agama terhadap
syirik (menyekutukan Tuhan). Proses ini menyoroti bagaimana sistem budaya tidak bersifat statis, melainkan dinamis, terus-menerus menggabungkan dan menafsirkan ulang elemen-elemen untuk menjaga koherensi dan fungsi dalam lingkungan sosial dan agama yang berubah.
B. Alat-alat, Media, dan Simbol dalam Praktik Dukun
Dalam praktiknya, dukun sering menggunakan benda-benda seperti kemenyan, dupa, boneka, air khusus, atau ramuan dari akar dan tumbuhan. Sesajen, air putih, dan bunga 7 rupa adalah beberapa syarat yang harus disediakan dalam pengobatan tradisional dukun/tabib. Dalam ritual pengobatan Anak Balam di Minangkabau, sesaji berupa Bungo Tujuah Macam (tujuh jenis bunga), Limau Tigo Macam (tiga jenis jeruk), dan 15 sajian lainnya ditujukan untuk roh leluhur atau dewi yang dipanggil dukun.
Dukun memanfaatkan herbalisme dan ramuan tradisional dalam penyembuhan. Contohnya, jamu, ramuan herbal dari resep rahasia akar, rempah, dan bumbu, digunakan untuk mengobati penyakit dan meningkatkan daya tarik/kekuatan. Selain itu, benda-benda magis juga digunakan. Keris, misalnya, dapat digunakan untuk membawa keberuntungan atau sebagai media magis pribadi untuk meyakinkan klien. Susuk, jarum logam terpesona yang ditanamkan ke tubuh tanpa luka, dipercaya dapat membuat pasien lebih menarik atau kebal. Beberapa alat spiritual lain yang digunakan dukun meliputi cincin akar bahar, madat candu tengkorak, dan rajah haikal kulit kijang.
Contoh ritual pengobatan dari berbagai etnis di Indonesia.
-
Dayak DHK: Pengobatan dimulai dengan “air tawar seribu”, lalu “dimungul” (pengambilan penyakit dengan minyak dan batu), dan jika tidak sembuh, dirujuk ke rumah sakit. Apabila dengan pengobatan rumah sakit juga mengalami hal yang sama, maka dilakukan pengobatan terakhir dengan “balian sangiang” atau “tenung”. Ritual miempu yang dipimpin oleh
belian juga dilakukan untuk pengobatan tradisional dan mencegah musibah.
-
Batak Toba: Parubat huta memanggil roh nenek moyang dan menggunakan ramuan seperti kemiri yang dihaluskan dengan mantra, bulu ayam untuk mengoleskan, dan air mengalir yang diyakini dapat menghanyutkan penyakit. Ucapan terima kasih berupa
napuran tiar (sirih dengan uang) juga menjadi bagian ritual.
-
Minangkabau (Anak Balam): Ritual pengobatan menggunakan kekuatan syair (mantra), musik biola, dan tarian oleh penari berjumlah genap. Selama ritual, penari bisa pingsan atau kerasukan, dan penari yang kerasukan akan bertindak sebagai dukun untuk mengobati pasien. Sesaji juga disiapkan untuk roh leluhur atau dewi. Ritual ini, yang dulunya berfungsi sebagai pengobatan, kini sering bergeser menjadi media hiburan semata seiring kemudahan akses fasilitas kesehatan modern.
IV. Dukun di Era Modern: Tantangan, Adaptasi, dan Relevansi Kontemporer
A. Pergeseran Peran dan Tantangan Modernisasi
Di era modern, perkembangan pengetahuan dan teknologi telah menggeser peran pengetahuan tradisional yang diterapkan oleh para dukun. Masyarakat cenderung lebih condong kepada pandangan modern yang didukung oleh hasil penelitian dan logika rasional. Meskipun demikian, kepercayaan terhadap dukun tidak sepenuhnya hilang. Survei Wellcome Global tahun 2021 menunjukkan tingkat kepercayaan orang Indonesia terhadap dukun (13%) lebih tinggi dibandingkan ilmuwan (12%). Hal ini menciptakan dilema antara keyakinan yang telah mengakar dan kemajuan ilmiah.
Dalam pandangan Islam, perdukunan (terutama yang melibatkan sihir dan ramalan) dianggap sebagai dosa besar berupa kesyirikan dan salah satu dari tujuh hal yang membinasakan. Meskipun agama melarang, masih banyak masyarakat muslim yang terlibat dalam praktik perdukunan dan ilmu gaib. Beberapa dukun bahkan berkedok kyai, haji, atau guru untuk menarik kepercayaan. Ini menunjukkan tantangan besar dalam edukasi masyarakat untuk membedakan praktik yang sesuai dengan ajaran agama dan yang menyimpang.
Fenomena ini bukan sekadar pertentangan antara “tradisional” dan “modern”, melainkan sebuah demonstrasi dari adanya koeksistensi paradigma pengetahuan. Bagi banyak masyarakat Indonesia, dunia tidak hanya diatur oleh prinsip-prinsip ilmiah; kekuatan supranatural dan dimensi spiritual juga dianggap nyata dan berpengaruh. Keberlanjutan dukun berakar pada fakta bahwa mereka seringkali menangani masalah yang tidak atau belum sepenuhnya dapat diatasi oleh kedokteran modern atau sistem konvensional, seperti penyakit spiritual, nasib buruk, masalah hubungan, atau pengaruh politik. Mereka menawarkan pendekatan holistik yang mengintegrasikan dimensi fisik, mental, emosional, dan spiritual. Selain itu, ikatan budaya yang kuat dan aksesibilitas yang mudah menjadikan mereka pilihan yang lebih disukai bagi banyak orang, terutama di daerah pedesaan. Pilihan untuk mengunjungi dukun, yang mungkin terlihat tidak rasional dari sudut pandang ilmiah murni, sebenarnya adalah pilihan yang rasional dalam sistem kepercayaan pasien itu sendiri, yang mungkin berbeda dari pandangan yang hanya mengandalkan logika ilmiah. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan publik dan perilaku mencari layanan kesehatan dibentuk oleh interaksi kompleks antara pemahaman ilmiah, keyakinan budaya, kebutuhan spiritual, aksesibilitas, dan faktor ekonomi.
B. Adaptasi dan Potensi Kolaborasi dengan Medis Modern
Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk membina pengobatan tradisional dan mengintegrasikannya ke dalam sistem kesehatan formal. Salah satu langkah adalah pembentukan Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T) yang bertugas melakukan pengkajian, penelitian, dan pengembangan pengobatan tradisional. Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong pengobatan tradisional yang terbukti bermanfaat, aman, dan dapat dipertanggungjawabkan untuk diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan. Contoh nyata adalah kebijakan kemitraan antara bidan dan dukun bayi, di mana dukun bayi kini memerlukan sertifikasi dan pelatihan khusus dari Puskesmas, berbeda dengan masa lampau.
Pemerintah perlu membuat kebijakan nasional yang mengakui, mendukung, dan memperbaiki sistem pengobatan tradisional, serta memaksimalkan utilitasnya dalam sistem kesehatan. Ini termasuk melakukan survei nasional tentang pengobatan tradisional, mengidentifikasi aturan yang sesuai untuk praktisi, dan membentuk konsil khusus untuk mengatur pendidikan dan pelatihan. Meskipun ada kekhawatiran tentang hilangnya kepercayaan terhadap penyembuh tradisional seiring kemajuan sains dan teknologi kesehatan modern , pengobatan tradisional tidak sepenuhnya ditinggalkan dan bahkan digunakan sebagai alternatif obat kimia di beberapa daerah.
Beberapa faktor utama yang mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap dukun meliputi:
-
Tradisi dan Ikatan Budaya: Dukun bukan hanya penyembuh, tetapi juga tokoh spiritual, penasihat, dan penjaga adat yang dihormati. Ikatan budaya yang kuat dan keberadaan dukun yang telah tertanam secara sosial dan budaya selama beberapa generasi membuat mereka tetap dipercaya.
-
Rasa Putus Asa dan Solusi Alternatif: Ketika masalah sulit diselesaikan secara medis atau keinginan sulit diraih, dukun hadir sebagai “solusi terakhir” yang menawarkan kesembuhan, jodoh, rezeki, atau bahkan jalan balas dendam dalam balutan ritual mistis.
-
Pendekatan Holistik: Dukun menawarkan pendekatan yang mempertimbangkan dimensi fisik, mental, emosional, dan spiritual kesehatan, yang seringkali tidak sepenuhnya tercover oleh medis modern.
-
Aksesibilitas dan Biaya: Di banyak daerah pedesaan, dukun lebih mudah dijangkau dan biayanya relatif murah dibandingkan fasilitas medis modern.
Tabel 2: Perbandingan Dukun dengan Praktisi Pengobatan Lain (Shaman, Tabib, Medis Modern)
Aspek Perbandingan | Dukun (Indonesia) | Shaman (Global) | Tabib (Indonesia) | Medis Modern (Dokter/Bidan) |
---|---|---|---|---|
Definisi Umum | Orang dengan keahlian supranatural/spiritual, “orang pintar”, penyembuh tradisional, medium roh, ahli adat, terkadang penyihir | Praktisi agama yang melibatkan komunikasi dengan dunia roh, seringkali untuk penyembuhan atau ramalan | Seseorang yang mengobati dengan cara tradisional (herbal, doa, mantra), terkadang dengan daya batin | Profesional kesehatan berlisensi berdasarkan ilmu pengetahuan ilmiah |
Sumber Kekuatan/Legitimasi | Kepercayaan, intuisi, warisan budaya, komunikasi dengan makhluk halus/roh leluhur, kekuatan di luar nalar | Warisan turun-temurun, pilihan roh/spirit, pengalaman spiritual | Warisan turun-temurun, pengetahuan herbal, doa-doa (terkadang dari Al-Qur’an), daya batin | Pendidikan formal, riset ilmiah, bukti empiris, lisensi praktik |
Metode Pengobatan | Mantra, jampi-jampi, doa, ritual, ramuan herbal, benda magis (kemenyan, keris, susuk), komunikasi spiritual | Ritual, trance, soul flight, animal sacrifice, herbalisme, kata-kata suci | Ramuan herbal, mantra/doa, pemijatan, sesajen | Diagnosis berbasis ilmiah, obat-obatan kimia, prosedur bedah, teknologi medis |
Fokus/Pendekatan | Holistik (fisik, mental, spiritual, sosial), penyelesaian masalah hidup, keberuntungan | Holistik (fisik, mental, emosional, spiritual), restorasi keseimbangan, harmoni | Fisik (penyakit), kadang spiritual/gaib | Fisik (penyakit), berbasis patologi, seringkali spesifik organ/sistem |
Persepsi Sosial | Dihormati, ditakuti, dicari, kadang distigma, dianggap sakti | Dihormati, memiliki tanggung jawab besar, kadang terisolasi | Dihormati, diandalkan, bagian integral masyarakat | Dipercaya, otoritatif, modern, ilmiah |
Tantangan/Isu | Penipuan, konotasi negatif (ilmu hitam), legalitas, pembuktian | Sering disalahartikan, tantangan adaptasi di dunia modern | Kurangnya regulasi formal, standarisasi | Aksesibilitas, biaya, kurangnya pendekatan holistik |
C. Fenomena Dukun di Era Digital dan Isu Penipuan
Di era digital, praktik perdukunan juga mengalami transformasi, dengan munculnya fenomena dukun online. Meskipun tidak ada sumber yang secara eksplisit membahas “dukun online” secara mendalam, beberapa sumber menyebutkan bahwa dukun seringkali “muncul seolah-olah dipanggil” atau “dari mulut ke mulut” , dan bahwa mereka “menjaga jarak dari kehidupan sehari-hari”. Namun, di sisi lain, promosi dukun juga muncul di berbagai iklan dan media massa.
Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan, adanya promosi di media massa dan pergeseran menuju “era digital” sangat mengindikasikan bahwa praktik perdukunan telah beradaptasi ke platform online. Ini menunjukkan adanya
komodifikasi dan adaptasi layanan spiritual. Ranah digital menyediakan pasar baru dan jangkauan yang lebih luas bagi dukun, memungkinkan mereka melampaui batasan geografis dan jaringan sosial tradisional. Namun, hal ini juga membawa tantangan baru dalam hal regulasi dan perlindungan konsumen, karena anonimitas internet dapat memfasilitasi aktivitas penipuan. Pergeseran dari kehadiran fisik ke interaksi digital mengubah sifat “aura misterius” dan cara kepercayaan dibangun atau dieksploitasi.
Sayangnya, fenomena dukun juga seringkali disalahgunakan untuk tujuan penipuan. Banyak yang mengaku dukun hanyalah penipu dan kriminal yang memangsa orang-orang yang percaya pada hal-hal supranatural. Kasus penipuan berkedok penggandaan uang adalah salah satu modus umum. Contohnya, seorang dukun di Kudus ditangkap karena menipu korban hingga Rp 70 miliar dengan modus penggandaan uang, setelah sebelumnya “menyembuhkan” istri korban dari santet. Kasus lain melibatkan mahasiswi dukun palsu yang menipu korban hingga Rp 1 miliar. Penipuan semacam ini menunjukkan bahwa rasa takut, harapan, dan keinginan manusia seringkali lebih kuat daripada logika, membuat mereka rentan menjadi korban.
V. Aspek Hukum dan Etika Perdukunan di Indonesia
A. Regulasi Hukum Terkait Praktik Perdukunan
Praktik perdukunan, terutama yang melibatkan ilmu hitam seperti santet, telah menjadi subjek regulasi hukum di Indonesia. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama, praktik perdukunan diatur dalam Pasal 545, 546, dan 547. Namun, pasal-pasal ini jarang digunakan sebagai dasar hukum untuk penangkapan atau penghukuman praktisi ilmu hitam. Seiring dengan perkembangan hukum, pembahasan mengenai “pasal santet” telah lama menjadi perdebatan. Pada tahun 2023, KUHP baru disahkan, dan tindak pidana perdukunan kini diatur dalam Pasal 252.
Pasal 252 KUHP 2023 berbunyi:
-
(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberi harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
-
(2) Setiap orang melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencarian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3.
Kriminalisasi perbuatan santet dan praktik perdukunan pada umumnya bertujuan untuk:
-
Mencegah terjadinya penipuan masyarakat secara umum yang dapat dilakukan oleh orang yang mengaku memiliki kekuatan gaib (dukun palsu).
-
Mencegah masyarakat mencari pihak yang mengaku memiliki kekuatan gaib untuk membantu melakukan kejahatan.
-
Mencegah masyarakat main hakim sendiri (eigenrichting) terhadap orang yang dianggap memiliki kekuatan gaib.
-
Mendorong masyarakat untuk selalu berpikir rasional, objektif, dan ilmiah demi kemajuan.
-
Memberikan perlindungan hukum bagi korban serta menciptakan rasa aman di masyarakat.
Tabel 3: Ringkasan Pasal Hukum Terkait Perdukunan di Indonesia
Aspek Hukum | KUHP Lama (Pasal 545, 546, 547) | KUHP Baru (Pasal 252 KUHP 2023) |
---|---|---|
Cakupan | Mengatur praktik perdukunan, namun jarang digunakan sebagai dasar hukum | Mengatur tindak pidana bagi yang menyatakan diri punya kekuatan gaib dan perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan |
Definisi Santet | Tidak dijelaskan secara eksplisit, sulit dibuktikan | Tidak tertulis secara eksplisit, namun dimasukkan dalam kategori “kekuatan gaib” |
Sanksi | Jarang diterapkan | Pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau denda Kategori IV; ditambah 1/3 jika untuk keuntungan/kebiasaan |
Tujuan Kriminalisasi | Tidak efektif dalam mengatasi masalah | Mencegah penipuan, mencegah pencarian bantuan untuk kejahatan, mencegah main hakim sendiri, mendorong rasionalitas, melindungi korban |
Tantangan Implementasi | Jarang digunakan, tidak sesuai harapan | Sulit dibuktikan karena aspek gaib, potensi penyalahgunaan, kurangnya bukti ilmiah |
B. Tantangan Pembuktian dan Implementasi Hukum
Salah satu tantangan terbesar dalam penegakan hukum terkait perdukunan, khususnya delik santet, adalah masalah pembuktian. Hukum memerlukan bukti yang nyata dan logis, bukan hanya iman atau dugaan. Menunjukkan adanya aspek gaib dalam praktik santet menjadi tantangan tersendiri dalam sistem hukum pidana. Pasal 252 KUHP 2023 tidak menjelaskan santet secara eksplisit, melainkan memasukkannya ke dalam kategori “kekuatan gaib”, yang semakin mempersulit pembuktian di jalur hukum.
Regulasi mengenai tindak pidana santet dalam KUHP baru memicu berbagai kontroversi dan tantangan dari perspektif hukum dan sosial. Meskipun pasal ini diharapkan mampu memberikan perlindungan hukum bagi korban dan menciptakan rasa aman, terdapat kekhawatiran mengenai potensi penyalahgunaan pasal ini yang bisa membatasi kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta risiko ketidakadilan dalam penegakan hukum akibat kurangnya bukti ilmiah tentang keberadaan dan dampak praktik santet. Korban santet sering mengalami kesulitan saat ingin melaporkan kejadian yang menimpa mereka, mungkin merasa tertekan secara sosial atau takut akan pembalasan dari pelaku. Oleh karena itu, meskipun Pasal 252 telah ada, pelaksanaannya masih belum sesuai harapan, dan ada kebutuhan mendesak untuk membuat prosedur hukum yang lebih jelas agar penegak hukum dapat bekerja lebih efektif.
Upaya hukum untuk mengkriminalisasi tindakan yang berkaitan dengan “kekuatan gaib”, termasuk santet , menghadapi tantangan besar dalam pembuktian. Hukum positif menuntut bukti yang “nyata dan logis”, sementara santet melibatkan “aspek gaib” dan fenomena yang “tak kasat mata”. Hal ini menyoroti adanya
konflik ontologis yang mendasar antara sistem hukum yang positivistik, yang mensyaratkan bukti empiris dan terverifikasi, dengan keyakinan masyarakat yang mengakui realitas supranatural. Hukum dirancang untuk mengatur dunia material, namun dihadapkan pada upaya mengatur fenomena yang, menurut definisinya, berada di luar atau melampaui bukti material.
Kondisi ini menciptakan celah signifikan dalam penegakan hukum dan dapat menyebabkan dilema seperti tuduhan palsu, tindakan main hakim sendiri (yang justru ingin dicegah oleh undang-undang ), dan kurangnya keadilan bagi korban yang benar-benar percaya telah dirugikan secara supranatural. Sistem hukum dipaksa untuk bergulat dengan batasan kerangka kerjanya sendiri ketika dihadapkan pada keyakinan budaya dan spiritual yang mengakar kuat dan beroperasi pada bidang epistemologis yang berbeda. Kontroversi yang muncul berasal dari ketegangan inheren ini: bagaimana cara membuat undang-undang terhadap sesuatu yang diyakini secara budaya tetapi tidak dapat dibuktikan secara ilmiah?
VI. Kesimpulan dan Rekomendasi
A. Dukun sebagai Cerminan Kekayaan Budaya dan Kompleksitas Masyarakat Indonesia
Dukun adalah cerminan hidup dari kekayaan budaya dan kompleksitas masyarakat Indonesia. Dari akarnya sebagai ahli medis di masa lampau hingga evolusi maknanya menjadi sosok yang diasosiasikan dengan kekuatan supranatural, dukun telah memainkan peran yang tak terpisahkan dalam kehidupan sosial, budaya, dan spiritual masyarakat Nusantara. Mereka berfungsi sebagai penyembuh, penasihat, penjaga kearifan lokal, dan bahkan aktor dalam dinamika politik, menunjukkan adaptasi dan ketahanan yang luar biasa di tengah gempuran modernisasi. Keberadaan mereka yang berkelanjutan, bahkan di era digital dan di hadapan kemajuan medis, menegaskan bahwa kepercayaan dan kebutuhan akan dimensi non-material tetap kuat dalam masyarakat.
Memahami dukun memerlukan pemahaman yang seimbang dan tidak menghakimi. Penting untuk mengakui bahwa di balik konotasi mistis dan potensi penyalahgunaan, terdapat sistem pengetahuan tradisional yang telah membantu masyarakat selama berabad-abad. Pendekatan yang holistik memungkinkan untuk melihat dukun sebagai bagian dari warisan budaya yang hidup, yang terus berinteraksi dan beradaptasi dengan perubahan zaman, daripada sekadar mengategorikannya sebagai “primitif” atau “tidak ilmiah.”
B. Rekomendasi untuk Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan
Untuk menjembatani kesenjangan antara pengobatan tradisional dan modern, serta melindungi masyarakat dari praktik penipuan, beberapa rekomendasi dapat dipertimbangkan:
1. Penguatan Literasi Kesehatan dan Pendidikan Kritis: Peningkatan literasi kesehatan dan pendidikan kritis sangat krusial. Ini melibatkan edukasi yang komprehensif tentang prinsip-prinsip kesehatan modern, sekaligus pemahaman yang nuansa tentang praktik tradisional. Tujuannya adalah memberdayakan masyarakat untuk membuat keputusan yang terinformasi mengenai kesehatan dan kesejahteraan mereka, tanpa menghilangkan rasa hormat terhadap warisan budaya. Program edukasi dapat diselenggarakan melalui berbagai saluran, termasuk sekolah, pusat kesehatan masyarakat, dan media digital, dengan materi yang relevan secara budaya.
2. Pengembangan Kerangka Kerja Kolaborasi yang Etis antara Pengobatan Tradisional dan Modern: Mengingat persistensi dan relevansi dukun dalam masyarakat, terutama di daerah pedesaan, pengembangan kerangka kerja kolaborasi yang etis antara pengobatan tradisional dan modern sangat direkomendasikan. Kemitraan antara bidan dan dukun bayi adalah contoh positif yang dapat diperluas ke jenis dukun penyembuh lainnya yang terbukti aman dan bermanfaat. Hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi praktik-praktik tradisional yang aman dan efektif, standarisasi, serta integrasi yang terencana dalam sistem kesehatan nasional. Pendekatan ini harus menghormati kearifan lokal sambil memastikan keselamatan dan efektivitas berdasarkan bukti ilmiah.
3. Penegakan Hukum yang Transparan dan Adil untuk Melindungi Masyarakat dari Praktik Merugikan: Meskipun tantangan pembuktian dalam kasus-kasus yang melibatkan aspek gaib sangat besar, penegakan hukum yang transparan dan adil tetap esensial untuk melindungi masyarakat dari praktik perdukunan yang merugikan, terutama penipuan dan kejahatan. Ini memerlukan pengembangan prosedur hukum yang lebih jelas dan pelatihan bagi penegak hukum untuk menangani kasus-kasus yang kompleks ini. Penting juga untuk menyeimbangkan perlindungan masyarakat dengan kebebasan berkeyakinan, memastikan bahwa hukum tidak disalahgunakan untuk menekan tradisi yang tidak berbahaya, melainkan fokus pada tindakan yang secara nyata menimbulkan kerugian fisik, mental, atau finansial.